“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)
Saudaraku Kaum Muslimin Rohimakumullah, perintah puasa di dalam al-Qur’an di awali dengan seruan atau panggilan Allah bagi orang-orang yang beriman. Ini menandakan bahwa Ibadah Puasa hanya dapat dilaksanakan secara sempurna oleh orang-orang yang Beriman. Lantas kemudian, apakah Iman itu dan apa yang menjadi ukurannya. Dalam pengertian yang sederhana sering kita dengar pengertian Iman adalah :
“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan organ tubuh (Perbuatan)”.
Dalam kalimat tersebut, terdapat kata penghubung wawu athaf yang diartikan ‘dan’, sedangkan dalam tata bahasa Arab dikenal sebuah kaidah ‘ Wal Atfu Bil Wawi Limuthlaqil jam’i ‘ yang artinya Penggunaan Athaf dengan hurup wawu mengharuskan adanya keterlibatan semua yang di athaf kan tersebut. Maksudnya, pembenaran dengan hati تَصْدِيْقٌ بِاْلقَلْبِ tidak dapat dipisahkan dengan pengikraran lisan dan pengamalan melalui perbuatan.
Alhasil, Iman adalah keseluruhan dan keseragaman atau satu nya keyakinan di dalam hati, ucapan yang dikatakan, dan perbuatan yang dikerjakan. Kita harus mengakui seringnya kita berbeda antara apa yang diucapkan dengan yang di yakini di dalam hati bahkan berbeda pula dengan apa yang kita kerjakan, inilah sesungguhnya yang membuat Iman kita cacat tidak sempurna. Misalnya, setiap hari di dalam shalat kita mengucapkan :
إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
artinya “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tetapi betulkah pernyataan tersebut hadir dalam kehidupan kita ? benarkah Allah Swt yang menjadi orientasi kehidupan kita ? maka pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh diri kita sendiri apakah selama ini Allah Swt yang menjadi tujuan aktivitas kita ataukah harta benda, jabatan, popularitas, wanita, dan nafsu-nafsu lainnya.
Saudaraku yang Budiman, Dalam satu waktu setelah shalat shubuh, Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat “Siapakah makhluk Allah yang paling menakjubkan Imannya ? para sahabat menjawab, “Malaikat!”. Bagaimana malaikat tidak beriman sedangkan mereka pelaksana perintah Allah, Jawab Rasulullah. “Kalau begitu, para nabi, ya Rasul Allah”. Rasulullah menjawab ; Bagaimana para Nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka. “kalau begitu, sahabat-sahabatmu, ya Rasul Allah”. Rasul pun menjawab ; bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan (berupa mukjizat Nabi, dll).
Maka Rasulullah pun menjelaskan “orang yang paling menakjubkan Imannya ialah kaum yang datang sesudah kamu sekalian. Mereka beriman kepadaku, padahal tidak melihatku. Mereka melnemukan tulisan (tentangku) dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membelaku seperti kalian membelaku”.
Inilah Iman yang sesungguhnya, yakni kesadaran kita tentang kehadiran yang Ghaib (Allah Swt) dan kesadaran itu pun dalam keghaiban, yakni dalam posisi kita tidak melihat-Nya. Oleh karena itu saudaraku, marilah jadikan Ibadah puasa ini sebagai upaya meningkatkan kadar Iman kita, yakni menyadari dengan kesadaran yang penuh bahwa Allah Swt hadir dalam setiap gerak langkah kehidupan kita. ***