SERANG, BantenHeadline.com – Gubernur Banten, Rano Karno menilai, jika lahirnya Perda Pekat di Kota Serang merupakan kemajemukan regulasi yang berasal dari Otonomi Daerah (Otda). Berikut cuplikan wawancara, Gubernur Banten Rano Karno merespon persoalan Polemik Razia Warteg yang beroperasi siang hari di bulan Ramadhan (8/6) lalu, melalui rilis yang diterima redaksi BantenHeadline.com, Minggu (19/6) malam.
Terkait polemik soal razia warteg oleh Satpol PP Kota Serang, komentar Pak Gubernur?
Pertama, kita sepakati dulu bahwa tasamuh atau toleransi itu harus kita pegang teguh. Toleransi itu kita jaga karena sadar perbedaan itu keniscayaan. Kemajemukan itu fitrah yang telah ditaqdirkan Allah. Tapi ingat, toleransi itu berbeda artinya dari permisif atau sikap yang serba membolehkan apa saja.
Kalau umat islam berpuasa, maka ummat Islam boleh memaklumi non muslim yang tak berpuasa. Ingat: Laa ikraaha fii diin. Tidak ada paksaan dalam beragama. Kita juga memaklumi para musafir yang diberikan ruhshakh/keringanan untuk tidak berpuasa, atau para ibu yang tengah menyusui, atau orang tua dan orang sakit yang memang tak cukup kuat menjalankan ibadah puasa. Itu namanya tasamuh atau bertoleransi.
Yang tidak diperbolehkan itu adalah sikap permisif atau bersikap membolehkan apa saja. Itu yang tidak benar. Contohnya, bagi mereka yang tak terkena kewajiban berpuasa tentu menjadi tak elok dan tak bijak kalau Anda makan di tempat-tempat terbuka. Itu bukan lagi toleransi namanya. Tapi permisif, karena Anda berpikir boleh melakukan apa saja sesuka hati Anda. Itu sudah tidak benar.
Terkait Perdanya sendiri bagaimana Pak?
Itu konsekuensi otonomi daerah. Kita harus hargai kekhasan dan kemajemukan yang terserak di masyarakat. Kita harus konsisten. Ketika kita bicara pluralisme, maka kita dituntut untuk bukan sekadar menghargai–tapi lebih jauh dari itu, merawat partikularitas. Setiap kelompok masyarakat memiliki identitasnya masing-masing. Anda tak bisa bicara toleransi kalau Anda sudah tidak bisa menghargai warna, corak, dan budaya masyarakat yang begitu majemuk.
Tapi razia tempo hari memicu polemik di tengah masyarakat. Bagaimana ini Pak?
Itu soal cara. Dalam banyak pengalaman kita melihat seringkali hal yang baik ditolak karena salah dalam soal cara menyampaikan. Itu sebabnya Al Quran memerintahkan kita untuk menyampaikan kebenaran dengan bil hasanah dan bil hikmah. Ingat, itu perintah Quran. Harga mati itu! Harus kita patuhi.
Nah, kalau masalahnya ada pada cara menyampaikan, kenapa rule-nya yang digugat dan dipersoalkan. Kalau masalahnya ada pada bagaimana peraturan ditegakkan, lalu kenapa regulasi baiknya yang justru dipandang harus hilang?
Apa yang akan Bapak sampaikan kepada masyarakat mengenai hal ini?
Jadi begini, saya mengajak diri saya sendiri dan kita semua untuk mendudukkan persoalan pada proporsinya. Kandungan perintah baik yang diterjemahkan melalui Perda harus diletakkan sesuai dengan proporsinya.
Semangat dari regulasi, hukum, dan aturan bukan untuk membatasi kebebasan. Melainkan untuk memastikan kebebasan yang dimiliki setiap individu tidak sekonyong-konyong merusak dan meluluhlantakkan sendi dan pertalian sosial di tengah masyarakat.
Kalau Anda mempersoalkan cara Satpol PP dalam menegakkan aturan, maka fokuslah pada caranya. Jangan lantas regulasi yang sudah benar hendak Anda hapuskan. Kalau ada seorang muslim bertindak tak benar, jangan Anda berpikir Islam atau Al Qurannya yang salah. Itu sesat logika, namanya.
Yang penting sekarang, saya mengajak semua kelompok masyarakat bersatu. Jangan mau dipecah belah. Jangan mudah terprovokasi. Saya kuatir, akan ada yang merasa senang dan bertepuk tangan saat masyarakat terbelah dan dibayang-bayangi oleh kecurigaan. (Sumber Humas Pemprov Banten)