SERANG, BantenHeadline.com – Pembahasan Raperda Pengolaan Usaha Kepariwisataan (PUK) Kota Serang, sudah selama dua tahun ini tak juga menampakkan hasil. Molornya pembahasan Perda tersebut diduga kuat akibat adanya campur tangan dari pihak pengusaha dan oknum anggota DPRD Kota Serang yang memilki tempat usaha hiburan malam.
Hal tersebut diungkap dalam audiensi Gerakan Pengawal Serang Madani GPSM dengan Pansus Raperda PUK, DPRD Kota Serang, Kamis (19/10/2017). Sayangnya dalam pertemuan tersebut tidak diungkap oknum anggota DPRD Kota Serang yang dimaksud.
GPSM yang mayoritas adalah para ulama tersebut kemudian mendesak Pansus Raperda PUK DPRD, agar menolak keras keberadaan tempat hiburan yang disinyalir akan berujung terhadap kemaksiatan. Pansus juga didesak menandatangani nota kesepahaman terkait hal tersebut.
“Kota Serang ini identik dengan Kota Santri, karenanya kami sepakat untuk menolak hiburan-hiburan yang berujung terhadap kemaksiatan,” ucap Ketua DPRD Kota Serang, Subadri Usuludin, di gedung DPRD Kota Serang, usai audiensi.
Subadri menambahkan, saat ini, draft Raperda PUK Kota Serang tersebut sedang di-finalisasi oleh Pemerintah Provinsi Banten.
“Kami juga tegas menyatakan, pasal 47 yang berisi larangan untuk hiburan yang berujung kemaksiatan di Kota Serang dan pasal 68 yang merupakan pasal peralihan, yang mengacu pada pasal 21 Raperda PUK akan tetap ada dan tidak dibolehkan untuk dibuang. Jadi setelah diundangkan, selama jangka waktu 6 bulan, hiburan yang bertentangan tersebut tidak akan ada lagi di Kota Serang,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pansus Raperda PUK, Abdul Muhit menegaskan, saat ini keputusan ada di tangan Pemprov Banten. Menurutnya, ada batas waktu yang ditetapkan oleh Undang undang, sehingga jika tidak segera dikembalikan, DPRD Kota Serang berhak untuk memparipurnakan Raperda PUK tersebut.
“Jangka waktunya maksimal 15 hari harus sudah ada jawaban dari pemerintah provinsi. Dan apabila sampai batas waktu tersebut tidak ada jawaban, maka DPRD Kota Serang berhak untuk melaksanakan paripurna Raperda PUK tersebut,” ujarnya.
Wakil Ketua GPSM, Nasehudin yang juga ketua FPI Kota Serang mengatakan, perda ini masih ada beberapa hal yang multi tafsir dan disinyalir menjadi alat berlindung dari para pengelola hiburan. Sehingga mereka menegaskan bahwa harus ada perbaikan
“Seperti Spa dan panti pijat ada yang aneh. Spa itu ‘kan kesehatan, pijat urut juga, kenapa masuk ke pariwisata. Jangan sampai nanti ini menjadi alat berlindung secara hukum dari para pengelola tersebut,” papar Nasehudin
Nasehudin juga menegaskan, GPSM tidak menolak pariwisata di Kota Serang, namun ia berharap Perda tersebut akan berlandaskan pada hukum adat, hukum agama dan hukum konstitusi di Indonesia
“Kami tidak menolak pariwisata, karena itu merupakan sebuah keniscayaan, namun tetap harus menjunjung tinggi hukum-hukum yang lain sebagai rujukannya,” tegasnya. (Red-05).