Di era globalisasi ini penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam tentang penegakan suata negara, terutama yang berkaitan dengan keadaan dan situasi penegakan hukum di negara kita yaitu negara Indonesia. Hal ini penting bagi kita karena erat hubungannya dengan apa yang kita saksikan dalam realita kehidupan masyarakat saat ini. Terkadang masih banyak orang yang salah mengartikan dan belum banyak mengerti tentang keadaan sistem hukum di Indonesia, sehingga kita sebagai masyarakat kadang pasrah saja menerima hukuman dari kesalahan, terkadang hal tersebut dialami suatu perusahaan karena lemahnya pengetahuan sebagian masyarakat akan pengetahuan tentang proses hukum dan sanksi-sanksi yang diberikan kepada para pelaku yang berlaku di negara Indonesia. Banyak kasus hukum yang di selesaikan secara tidak adil, dimana para penegak hukum memiliki peran ganda sebagai mafia hukum secara tidak kasat mata.
Para mafia hukum inilah yang memporak-porandakan sistem hukum yang berlaku di tanah air kita. Gencarnya aksi mafia hukum tersebut disambut kritik dan protes yang tajam dari masyarakat sendiri, namun tak ayal, jarang yang sanggup untuk menghentikan mereka.Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai kewajiban hakim dalam menemukan hukum serta ingin memaparkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Secara umum, undang-undang dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kegiatan dalam kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karena itu tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan.
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkret atau merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein) tertentu. Pada pokoknya, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berawal dari peristiwa hukum konkret yang dihadapkan kepada hakim untuk diputuskan, sehingga sudah seharusnya putusan hakim memenuhi dimensi keadilan, kepastian hukum dan juga kemanfaatan.
Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender ataupun hartanya. Hukum harus dipisahkan dari politik, penerapan hukum di pengadilan pun harus dilakukan secara adil. Akan tetapi, sebenarnya hal tersebut tidaklah dapat dilaksanakan secara konsekuen dalam penerapannya, karena menurut teoretisi potsmodern, hukum tidak mempunyai dasar objektif dan tidak ada kebenaran sebagai tempat berpijak hukum, yang ada hanyalah kekuasaan semata yang menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.
Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa. Hukum harus ditafsirkan yang nyatanya akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkannya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang namanya keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan, dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum.
Fakta didepan mata, penegakan hukum di Indonesia masih carut marut, dan hal ini sudah diketahui dan diakui bukan saja oleh orang-orang yang sehari-harinya berkecimpung dibidang hukum, tetapi juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan juga komunitas masyarakat Internasional. Bahkan banyak pendapat menyatakan bahwa penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Proses penegakan hukum acapkali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat.
Salah satu sebab mengapa Indonesia sulit keluar dari krisis ekonomi sejak tahun 1998, dibandingkan negara lainnya yang terkena imbas krisis tersebut, adalah dikarenakan penegakan hukum di Indonesia terbilang sangat buruk. Bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai pada taraf mendekati ideal, tetapi malah makin menimbulkan kekecewaan yang mendalam, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang kian merajalela.
Salah satu faktor penyebab sulitnya memberantas korupsi di Indonesia adalah karena tidak konsistennya law enforcement yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang masih menganut paradigma legalistik, formalistik, dan prosedural belaka dalam melaksanakan hukum, dan dalam pandangan kaum legalistik normatif, seseorang barulah dianggap bersalah apabila sudah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Inti dari keterpurukan maupun kemunduran hukum itu adalah bahwa kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi sesuatu yang makin langka dan mahal. Hampir dimana-mana dapat dijumpai kerendahan budi yang makin merajalela, yang semakin menyengsarakan masyarakat banyak.
Apabila dilihat aspek bahasa, mafia hukum terdiri akar kata mafia dan hukum. Mafia berasal dari bahasa Sisiliakuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab “mahyusu” yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan pulau Sisilia kacau sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi mereka dari serangan bangsa lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara dimainkan pada1863 dengan judul mafusi de la Vicaria “Cantiknya rakyat Vicaria”, yang menceritakan tentang kehidupan pada gang penjahat di penjara Palermo.
Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini, yaitu penyebutan mafia hukum dan mafia peradilan.Pertama, Mafia Hukum disini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan politik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.
Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 oktober 2002 (berdasarkan
Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No. 25 tahun 1997. Kedua, Mafia Peradilan di sini dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Bentuk-bentuk mafia peradilan, misalnya makelar kasus, suap menyuap, pemerasan, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan sebagainya. Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaanya. Jika bisa dibuktikan berarti bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang melakukan tindak kejahatan terorganisasi sehingga kegiatan mereka sangat sulit dilacak secara hukum. Ada pengertian lain dari mafia hukum ini. Istilah mafia disini menunjuk pada adanya “suasana” yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan, kebijaksanaan maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal sebetulnya “tidak”. Dengan kata lain mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakan dan pelayanan hukum. Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak hukum yang jujur dan tidak terpengaruh oleh mafia dengan para penegak hukum yang sudah terkontaminasi.
Mafia Peradilan dalam perkara pidana mencakup semua proses pidana sejak pemeriksaan di kepolisian, penututan di kejaksaan, pemeriksaan di semua tingkat peradilan, sejak pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Misalnya perihal Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) di tingkat kepolisian maupun kejaksaan.
SP3 ini tidak mungkin bisa diterbitkan gratis. Pasti ada harganya. Harganya bisa dalam rupiah maupun keuntungan politis tertentu. Hak penyidik, penuntut umum atau hakim untuk menahan atau tidak menahan seseorang tersangka atau terdakwa adalah wilayah paling rawan terjadinya transaksi yang sifatnya moniter. Hukum acara yang mendasari wewenang untuk menahan memang lemah. Hanya atas dasar kekhawatiran maka para penegak hukum ini dengan mudah dapat melakukan penahanan terhadap tersangka.
Rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah bukti bahwa ternyata mafia itu ada. Makelar itu punya akses VIP ke orang-orang VVIP di puncak-puncak badan penegak hukum. Mafia itu kuatdan bisa bahkan menjebloskan orang, memerangkap orang, dan mengatur berbagai kesaksian agar bisa dipercepat dan dieksekusi badan penwgak hukum. Rekaman selama beberapa jam itu membeberkan misteri yang selama ini hanya diketahui sepotong-sepotong dan tidak ada bukti yang jelas. Jika diungkapkan ke publik pun akan dikenai pasal pencemaran nama baik. Mereka adalah korps tidak terlihat, tangan-tangan yang mengatur semua perkara apa yang bisa diselesaikan sesuai permintaan. Busyro Muqoddas membeberkan modus operandi dari mafia hukum ini. Menurutnya, ada empat modus operandi mafia peradilan di Indonesia.
Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. “Kalau ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu”. Modus kedua, adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak memberi penilaian terhadap suatu fakta atau sutu bukti tertentu sehingga putusannya ringan atau bebas”. Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencariperaturan hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum ditafsirkan berbeda.Modus keempat, adalah pencaria peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. “Dibuat agar terdakwamelakukan hal tersebut atas perintah atasan sehingga terdakwa dibebaskan”.
Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operansi dari mafia hukum mulai dari kepolisian hingga di Lembaga pemasyarakatan;
- Tahap Penyelidikan (Di Kepolisian) Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti setelah menyerahkan uang jasa, penggelapan perkara, penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang pada polisi.
- Tahap Penyidikan (Di Kepolisian) Negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan uang yang berbeda-beda, menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan, pemerasan oleh Polisi, tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan uang, mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai, pengaturan ruang Tahanan, penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.
- Pemerasan (Di Kejaksaan) Penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai, Surat panggilan sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”, pada ujung agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.
- Negosiasi Status. Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-menawar.
- Pelepasan Tersangka. Melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau sengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa di vonis bebas
- Penggelapan Perkara. Berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah uang.
- Negosiasi Perkara. Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak pejabat, pengacara rekanan jaksa. Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar menawar.
- Pengurangan Tuntutan. Tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan uang. Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan. Pasal yang disangkakan juga dapat diperdagangkan.
Hakim sebagai sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada dasarnya memiliki dua tindakan peran. Pertama, untuk membuktikan keberadaan suatu fakta yang dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana oleh suatu norma umum yang harus diterapkan kepada kasus tertentu. Kedua, hakim menjatuhkan suatu sanksi perdata atau pidana yang konkret yang ditetapkan secara umum dalam norma yang harus diterapkan. Dari kedua peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim merupakan penerap dari norma hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang kemudian diikuti dengan menerapkan sanksi demi tegaknya peraturan perundang-undangan tersebut.
Pada kesejarahannya menurut van apeldoorn peranan hakim dapat dibagi kedalam 3 masa yng terdiri dari masa abad ke-19 (legisme), pada masa ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum dengan bebas dan pada masa ini. Peranan hakim pada masa-masa legalisme (abad ke 19) mencapai puncak kejayaannya hanya difungsikan sebagai terompet undang-undang/corong undang-undang. Hakim pada konteks ini diposisikan untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan asas logikal, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain diluar logika dan aturan hukum tersebut. Secara operasional penerapan suatu aturan hukum dalam perkara konkret mengikuti aturan berpikir silogisme, dimana aturan hukum diposisikan sebagai premis mayor dan fakta konkret/kenyataan-kenyataan diperlakukan sebagai premis minor, sehingga penentuan apakah seseorang telah melanggar hak sesorang atau seseorang telah melakukan suatu tindak pidana sangat bergantung pada kualifikasi-kualifikasi/unsur-unsur yang dinyatakan dalam aturan hukum tersebut (premis mayor). Pada masa legisme ini hakim tidak mempersoalkan motif, seperti apakah seseorang melakukan suatu tindakan pencurian dengan alasan karena lapar atau karena alasan-alasan lainnya. Sehingga pada masa ini, hakim memiliki tugas sebagai subsumptie-automaat karena tugasnya semata-mata terdiri atas melakukan pencocokan (subsumptie) kedalam peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk hal tersebut.
[irp]
Peranan hakim pada masa ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum dengan bebas, merupakan penolakan terhadap pandangan legisme yang berkembang pada abad ke-19. Ajaran hukum bebas ini, menyatakan tidak semua hukum terdapat di dalam undang-undang, bahwa disamping undang-undang terdapat sumber-sumber yang lainnya, dimana hakim dapat mengambil hukum tersebut (hukum bebas) sebagai dasar bagi putusan. Mengenai dari manakah asal hukum bebas tersebut berasal, ajaran ini terbagi menjadi dua. Pertama, ialah aliran hukum sosiologis dan kedua, ialah aliran hukum kodrat.
Aliran pertama, yakni aliran hukum sosiologis digawangi oleh Hamaker yang menyatakan hukum bebas tersebut berasal dari adat istiadat, kebiasaan dalam masyarakat yang sifatnya lebih empirik. Sedangkan aliran hukum kodrat menunjuk kepada hal-hal yang sifatnya kontemplatif di dalam ruang-ruang perenungan penuh ide. Namun demikian, aliran-aliran yang datang berikutnya semakin radikal untuk meniadakan undang-undang sebagai sumber satu-satunya yang memandang bahwa hakim dalam memutus tidak hanya mengangap bahwa hukum bebas sebagai suplemen untuk menutupi kekosongan hukum. Namun lebih dari itu, hukum bebas ini dapat mengecualikan peraturan perundang-undangan tertulis dan mengadakan koreksi apabila dianggap telah bertentangan dengan hukum. Para pendukung aliran baru ini, memberikan hakim peran sebagai apa yang disebut dalam hukum romawi sebagai rechter-konigschap, namun demikian pandangan ini dianggap justru akan menghilangkan kepastian hukum sehingga banyak terjadi penolakan terhadap paham ini.
Pada masa ini, peranan hakim lebih dititik beratkan untuk melakukan penafsiran terhadap aturan-aturan hukum yang sudah ada, namun dengan tidak hanya menggunakan aktivitas logika semata. Tetapi juga memperhatikan anasir-ansir di luar hal tersebut, yakni kepatutan, keadilan, susila yang baik, itikad yang baik, dan sebagainya. Hakim memiliki tugas untuk mengisi kekosongan hukum yang ada, dimana hakim dalam melakukan penafsiran hukumnya tidak terlepas dari aturan hukum yang ada. Hakim dalam pada masa ini tidak melakukan pembentukan hukum dalam arti dia mengadakan suatu aturan hukum yang tidak ada menjadi ada. Namun hakim memutus berdasarkan perasaan hukum dengan memperhatika kebiasaan dan pendangan-pandangan yang berlaku di dalam masyarakat dan menyesuaikan hukum yang konkret pada tuntutan hal-hal yang khusus.
[irp]
Secara universal, jika ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka harus membebaskan diri dari belenggu formalisme-positivisme, karena jika hanya mengandalkan pada teori pemahaman hukum secara legalistik-positivistis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka tidak akan pernah mampu untuk menangkap hakikat akan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Usaha pembebasan dan pencerahan tersebut dapat dilakukan dengan mengubah cara kerja yang konvensional yang selama ini diwariskan oleh mazhab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal prosedural tersebut. Di situasi yang serba extra ordinary, dimana bangsa dan negara ini masih sulit keluar dari tekanan krisis disegala bidang kehidupan, yang mana tidak mentutup kemungkinan bangsa ini akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam, dengan situasi ini tidak mustahil, hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Padahal sejak awal reformasi, hampir setiap saat lahir peraturan perundangan yang mengatur dan problematika kehidupan negeri ini, sehingga keberadaan bangsa dalam kondisi yang hiperregulated society. Akan tetapi dengan banyaknya peraturan perundangan itu, baik yang menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kehidupan manusia, keteraturan (order) tidak kunjung datang menghampiri. Malahan hukum kita saat ini tampak kewalahan menghadapi segala macam permasalahan hukum yang terjadi, sehingga berakibat pada bukan membaiknya kondisi penegakan hukum, akan tetapi justru memunculkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya.
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.
Masalah penemuan hukum dalam kaitannya dengan tugas hakim adalah muncul pada saat hakim melakukan pemeriksaan perkara hingga saat menjatuhkan putusan. Hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan putusan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan logika hukum semata.
Menurut Bagir Manan, rumusan undang-undang yang bersifat umum tidak pernah menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. Hakimlah yang berperan menghubungkan atau menyambungkan peristiwa hukum yang konkret dengan ketentuan hukum yang abstrak.
Secara faktual, tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang bagaimanakah yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan karakteristik penemuan hukum yang baik, karena dalam setiap perkara atau kasus mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan atau variatif sifatnya. Sehingga hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang dihadapinya (case by case), apakah itu salah satu metode interpretasi hukum ataukah salah satu dari metode konstruksi hukum atau hanya berupa gabungan dari beberapa metode interpretasi hukum atau konstruksi hukum, ataukah sekaligus dari metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum sekaligus.
Sistem peradilan umumnya diartikan sebagai keseluruhan komponen peradilan, pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek yang bersifat prosedural yang saling berkait sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum. Untuk mewujudkan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan adalah suatu kesukaran, terutama ketika tidak ada grand desain pembangunan hukum sebagai acuan pokok. Bahkan upaya mewujudkan sistem peradilan yang bersih dan dan bebas mafia peradilan akan terjebak dalam ranah perbedaan pandangan dan paham hukum. Dalam keadaan serupa itu satu-satunya kekuatan bagi penciptaan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan bertumpu pada hakim dalam menemukan hukum.
Penemuan hukum dilakukan untuk menutupi kekurangan dari suatu peraturan perundang-undangan dan untuk mencegah kekosongan hukum. Tugas untuk melakukan penemuan hukum, merupakan tugas yang diemban oleh hakim di dalam melakukan memutus perkara konkret. Hakim di dalam melakukan penafsiran terikat oleh teks dan tidak dapat menciptakan hukum baru, hakim hanya menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat, di dalam sistem hukum Indonesia, penemuan hukum memiliki dasar yuridisnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, terutama di dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) sebagai dasar hakim dapat melakukan penemuan hukum dan Pasal 28 ayat (1) dan (2) sebagai dasar hakim dalam menemukan hukum adalah memperhatikan aspek-aspek nilai-nilai dan keadilan di dalam masyarakat. ***
Penulis, Dede Kurniawan
Mahasiswa Pasca Sarjana Untirta