Oleh: Bin Murarka
Ibu, sosok wanita paling mulia tergambar seperti dewi keabadian cinta yang amat jelita, memberi kedamaian dan perlindungan tiada terhingga walau akan datangnya prahara yang dapat menjatuhkan bintang-bintang dan segala sesuatu yang ada pada cakrawala.
Sosok Ibu, tetaplah bodyguard tangguh terpilih. Dan Sang Nabi pun menempatkan urutan nomer satu padanya sebagai orang yang wajib disayangi. Dan sekarang predikat serta prestasinya masih berada dalam nomer puncak di hati setiap makhluk dunia. Jika seekor rusa kecil saja bisa melindungi ibunya yang renta dari serangan srigala, mengapa kita tidak?
Suatu rasa syukur yang luar biasa terhadap Sang Pencipta atas kehadiran seorang Ibu pada diri setiap makhluk. Kasih sayang serta kepribadiannya melebihi manusia yang tersayang sekalipun. Menurutku, guru pertama yang mendidik, mengajarkan moral mulia, teman bermain, tempat berbagi, tempat curhat dari segala kesedihan dan kebahagiaan adalah ibu. Figur wanita yang menjadikan hidupku berlangsung lama.
Cintaku padanya melebihi cintaku pada diri sendiri. Nasehat-nasehatnya dapat melemahkan urat-urat kawat yang tegang sekalipun, nasehat yang selalu membimbingku pada kebenaran hidup. Kepedulian dan perlindungan yang ia ciptakan takkan dapat dikalahkan oleh algojo-algojo kerajaan sekalipun.
Setiap malam ketika kita masih bayi ia membuka mata melawan rasa kantuk yang bergelantungan pada bulu-bulu mata lentiknya guna meninabobokan kita yang belum mengerti akan penderitaan dan rasa letihnya. Ia rela kelaparan asalkan anaknya merasa kenyang. Begitu mulia pengorbanan yang ia berikan kepada kita.
Suatu ketika kepenatan muncul pada jiwaku, beban-beban dan tugas-tugasku sebagai seorang pencari ilmu sangat menumpuk di otak, mengganggu kesendirian yang aku jalani. Beberapa langkah lagi untuk menuju kebebasan dari penjara ilmu lama dengan segala peraturannya, menuju penjara baru dengan segala hal-hal yang tak bisa diduga-duga. Lebih baikkah ilmu dan pengetahuan hidup di depanku? Mungkinkah aku bisa masuk ke dalam penjara baru dengan semua hal tak terduganya? Usahaku untuk terus belajar dan meniti ilmu aku jalani.
Tapi suatu perkara membuatku merasa terganggu, istana cintaku hancur. Ketentraman dalam keluargaku diterpa badai dahsyat. Ayahku yang kupuja-puja mengkhianati cinta suci Ibuku, ayah yang seharusnya menjadi pelindung istana cinta kami.
Setiap pagi sepeda motor yang berbeda-beda membawaku melewati deretan pohon karet yang rindang menuju suatu tempat di mana aku biasa menuntut ilmu. Pada suatu kesempatan salah seorang dari mereka melambatkan tunggangannya dan berbisik kepadaku sambil telunjuknya diarahkan pada sebuah rumah.
“Beberapa musafir ada yang memiliki tempat persinggahan dan mereka beristirahat di sana untuk meneguk segelas air sebagai penawar rasa dahaga, meskipun ia sudah mempunyai tempat tinggal yang lebih indah dengan sekendi air di dalamnya.”
Aku sedikit mengerti akan ucapannya. “Apakah setiap musafir yang singgah selalu minta air sebagai penawar rasa dahaganya? Bukankah orang-orang di dekatnya selalu membekali ia dengan sebotol air cinta? Sebotol air yang akan menemani langkahnya dalam perjalanan panjang yang melelahkan.”
Ia menoleh ke arahku sambil tangannya tetap pada pegangan si tunggangannya. “Apakah orang-orang yang berada di dekatnya berlaku begitu, sehinggga musafir tersebut tak mereguk cinta yang lain? Bagaimana dengan ayahmu? Tidakkah kau tahu prilakunya?”
“Jika berlaku demikian aku yakin ia sedang alfa akan kewajibannya. Tapi jangan salahkan kami, terutama ibuku, karena ia telah memberikan cinta terbaiknya buat keluarga.”
“Lalu siapakah yang harus dipersalahkan? Apakah si pemilik tempat persinggahan yang telah memberikan segelas air itu?”
“Jika ia tahu bahwa si musafir itu sudah mempunyai air cinta pada tangannya, janganlah ia menawarkan air cinta lain yang akan merusak jalinan keluarga yang berhasil ia bina dengan kasih sayangnya. Jika ia tidak tahu, seharusnya periksa dulu semua bekal yang ia bawa, karena sang kumbang tidak akan mendekati sekuntum bunga jika bunga itu mampu menutup kelopaknya,” mataku meneliti ke arah sosok wanita yang berada pada rumah yang disebut-sebut sebagai tempat persinggahan ayah.
Dan hatiku yang sedang berada pada kecemasan berbisik karena rasa kasihan pada ayah, “begitu bodoh ayah karena tertarik pada wanita yang tidak lebih mulia dari ibu. Sebegitu butakah hatinya sehingga tidak mampu melihat bunga layu dan berpaling dari bunga yang lebih segar dan jelita yang sudah ia miliki?”
Ibuku, bunga terindah dari milyaran bunga dunia, perhiasan berharga dari perhiasan paling berharga di dunia. Kemuliaan budinya, ketegaran jiwanya dan kelembutan kasihnya, mampu menandingi gedung-gedung pencakar langit yang amat perkasa sekalipun dari terjangan prahara-prahara angkara murka.
Di bawah telapak tangannya aku berlindung dari sengatan panas dan derasnya hujan kehidupan. Dengan belaian tangan halus yang ia miliki aku terlelap dalam tidur indahku, suara merdu bagaikan petikan melodi kecapi di hamparan pasir yang luas dapat menenangkan jiwaku yang bergejolak menjadi tenang setenang telaga bisu. Tatapan teduh dari mata bening yang sayu membuatku terbuai dalam mimpi-mimpi.
*****
Ketenangan dalam keluargaku sudah terusik untuk ketiga kalinya oleh kealfaan yang diperbuat ayah. Kasus yang sama terulang kembali ketika aku berada dalam kebahagiaan pada sekolah yang masih asing bagiku.
Meski hampir dua tahun berada di sana, aku merasa belum terbiasa akan atmosfer yang jauh berbeda dengan sekolahku dulu. Kehidupan baruku kali ini lebih menantang, penuh persaingan dan cinta, lebih panas dan brutal, serta yang paling utama adalah sarat akan pementasan-pementasan materi –dan faktor terakhir inilah yang membuatku tersisih dalam persaingan baruku, yang tidak aku temukan pada sekolahku dulu yang jauh lebih tenang dan religius. Dan di tempat inilah gaya-gaya hidup dipertontonkan.
Jenjang yang lebih tinggi dari sekolahku dulu membuat hati dan pikiranku yakin akan kehidupan yang penuh tantangan dan perbedaan. Keinginanku untuk terus maju lebih mantap meski diawali oleh air mata dan perjuangan pahit ketika hendak memasuki dunia baruku, tentunya karena keberadaan materi yang kurang.
Tapi perjuangan pahit yang dihiasi air mata itu tak membuatku bahagia, ayahku yang seharusnya menjadi pemimpin dalam perjuangan tersebut telah lari dari kepimimpinannya, berhenti dan menetap lebih lama pada sebuah persinggahan ketiga, dengan menghasilkan buah kehidupan dari cinta terkutuk bagi keluargaku. Lebih bodoh lagi bagi ayah, si pemilik persinggahan ketiga tersebut amat jauh berbeda dari dua pemilik persinggahan terdahulu, apalagi jika dibandingkan dengan ibu, sangat jauh perbedaan dari mereka. Wanita ketiga ini terlihat bodoh, lembek dan hina, itu faktanya.
Kejengkelan yang dulu telah hilang terhadap ayah kini muncul lebih dahsyat, hingga membawaku pada suatu malam yang penuh ketegangan dan cuaca panas. Ibuku yang berada pada kamarnya yang bersebelahan dengan kamar yang dipenuhi oleh kami, anak-anaknya -aku, saudara kembarku, adik dan kakak perempuanku, telah siap menumpahkan amarah kewanitaannya terhadap lelaki yang selalu menyakiti hati dan perasaannya.
Ayahku yang baru kembali dari kebiasaan rutinnya, entah dari bekerja atau dari istri barunya, disambut oleh kobaran api kemarahan yang tidak dapat ibu tahan. Makian dan pukulan-pukulan kecil seorang wanita dengan ikhlas diterimanya, tanpa amarah, bentakan dan perlawanan, karena aku tahu ayah bukan seorang pemberang.
Dan kami anak-anaknya, hanya mendengar tanpa menyaksikan peperangan di antara keduanya, hanya kata yang berulang ke luar dari mulut ibu yang berhasil kami dengar ‘mista maja utama’ begitu ucapnya. Suatu kalimat yang bermakna bahwa kesalahan pada ayah sudah dilakukan untuk ketiga kalinya.
Tiba-tiba ketegangan terjadi ketika ayah mengeluarkan prilaku tak biasanya selama ini, ibu yang terus meluncurkan pukulan kecil membuat amarah ayah memuncak, kata-kata aneh dari mulut ayah mendorong kami ke luar dari ruang pengintaian.
Entah setan dari mana yang merasuki jiwa saudara kembarku hinggga ia menampakkan kebrutalannya terhadap ayah. Kemarahannya menggebu-gebu membawa ia berhadapan untuk melakukan perkelahian yang sangat ganjil dan tak pantas antara seorang anak dan ayahnya. Memang, perangai kami sedikit berbeda, saudara kembarku yang keras dan pemarah bertolak belakang dengan perangaiku yang kalem dan penyabar. Sementara kakak perempuanku hanya mengeluarkan amarahnya lewat kata-kata lemahnya saja.
Saudara kembarku mengangkat tangannya hendak memukul ayah sambil berkata dengan kasar, “aku berani melawan raja hutan sekalipun meski tanpa tombak di tanganku, begitu pula jika engkau menganiaya ibuku yang lemah. Aku berani meski engkau ayahku.”
Ayah yang merasa terhina oleh kemarahannya sedikit menahan emosi lalu berkata dengan nafas yang tertahan. “Begitukah perangai seorang anak yang telah dibesarkan dengan kasih sayangku, yang telah kuberi makan dengan cucuran keringat dan tenagaku? Apakah ini sebuah balas budi seorang anak terhadap orangtuanya, dengan pukulan dan keberanian sikapmu?”
Ayah yang tampak tertekan oleh gencatan orang-orang terdekatnya melemahkan tangan perkasanya, berusaha pasrah tanpa melawan serangan dari anaknya sendiri. “Silakan tusuk dadaku dengan tombak kebencianmu jika kau sanggup!”
“Tak mungkin seorang anak akan menjadi pembangkang terhadap orang tuanya jika ia tak melihat keburukan pada diri orangtua yang amat ia hormati,” suara lemah kakak perempuanku menambah keadaan hatiku semakin kacau. Begitulah seorang wanita, hanya kata-katalah yang mampu ia keluarkan dari jiwanya yang tertekan.
Aku yang hanya diam terpatung akhirnya membuka mulut dengan bibir yang gemetar, suaraku serak. “Tadinya aku mengira jika seekor singa akan menjadi raja belantara yang melindungi hewan-hewan lemah di dalamnya, tapi sekarang aku melihat bahwa sang raja malah memangsa hewan-hewan yang tunduk padanya dengan robekan taring-taring mengerikan dan cakaran kuku-kuku tajamnya, mengoyak dan menghancurkan hatinya. Seorang ayah yang seharusnya menjadi teladan untuk anak-anaknya malah merusak keharmonisan keluarga dengan kebiasaan buruknya.”
Ia menatap ke arahku dan berucap, “ayah tidak suka terhadap perjudian, tidak suka pada botol-botol air yang mengacaukan pikiran, ayah tidak pernah melakukannya. Tapi terhadap godaan wanita ayah tak sanggup menahannya. Dan itu wajar, karena setiap lelaki mempunyai hasrat yang sama seperti ayah.”
“Aku tahu, dulu para raja pun demikian, mempunyai istri dan selir-selir yang banyak, bahkan Sang Nabi mulia pun mempunyai istri lebih dari satu. Tapi para raja mempunyai banyak harta yang melimpah ruah, dan Sang Nabi membagi cintanya dengan adil dan bijaksana. Istri Nabi, Khadijah, beliau mengijinkan suaminya menikahi Aisyah karena kemuliaan budi serta kepintaran akalnya, tidak semata-mata karena nafsu dan bisikan iblis. Aisyah merasa tidak dirugikan, begitu pula Khadijah,” amarahku memuncak hanya pada kata-kata, aku tak bisa berbuat apa selain itu.
Ayah tertunduk lesu. Kepalanya seakan berat sekali menanggung beban.
“Tapi lihatlah diri ayah! Apakah ayah mampu menyekolahkan saudara kembarku yang merasa sadar diri akan kemiskinan keluarga kita? Ia rela mundur dari sekolah dan memberikan kesempatan padaku untuk maju. Begitu pula kakak perempuanku ini, gadis malang yang hidupnya selalu menderita, terombang-ambing oleh kemiskinan orangtuanya. Dan lihat ibu kami, istrimu, tidakkah dia terlihat mulia dan cantik jelita di mata ayah? Dia adalah wanita perkasa satu-satunya yang pernah kutemui di atas dunia. Dia rela mengarungi bahtera hidup melawan badai dan gelombang yang mengombang-ambingnya.”
Ayah tertunduk lalu meneteskan air mata, emosinya melemah. Ia mendadak rapuh, tubuhnya melemah dan ambruk pada sebuah kursi butut di pojok ruangan.
“Coba tengok ke atas kepala ayah. Tidakkah ayah perhatikan celana lusuh pemberian orang lain? Setiap hari aku memakainya ke sekolah tanpa rasa malu, tanpa uang saku di kantongku. Aku ikhlas, yang penting aku dapat menimba ilmu untuk memenuhi ember-emberku yang kosong, karena aku sadar bahwa ayah tak mampu mengganti celana lusuh itu,” air mata yang memberontak ke luar tak mampu aku tahan. Jiwaku yang dirudung kesedihan teramat lemah.
Ayah yang diam membeku tiba-tiba membuka mulut, “kamu tidak pantas memakai celana ini. Seharusnya ayah sadar dari dulu akan penderitaanmu dan seluruh keluarga ini, ayah menyesal,” matanya yang sembab memandangku dengan tatapan sayu. Penyesalan akan prilaku buruknya selama ini terpancar dari raut wajahnya.
“Aku harap penyesalan ini tidak hanya pada kata-kata belaka,” aku menyurutkan pandang lalu masuk ke dalam kamar. Jiwaku yang berduka aku hempaskan pada kasur lepek yang terasa keras, yang menjadi pelampiasan cucuran air mataku.
Kesedihan yang berlarut-larut membuatku tak bisa memejamkan mata, pemikiran-pemikiran dalam otakku datang silih berganti. Begitu kejam ayah menyiksa batin ibu yang menyayanginya, selalu menyakiti perasaannya. Mungkinkah ayah tega berlaku begitu karena ibu adalah seorang wanita yang buta terhadap tulisan atau huruf-huruf, bisu terhadap rangkaian kata dan pengucapannya? Ah, bukan karena itu, sebenarnya ayah yang bodoh dan buta. Menurutku, ibu adalah seorang wanita tegar yang tak pernah mengeluh akan kejamnya hidup meski ia tak bisa membaca dan menulis.
Tadinya aku berpikir bahwa ayah adalah raja pada istana kami, tapi pemikiran itu ternyata keliru, karena ibulah yang berhak menyandang penghargaan sebagai ratu dalam istana cinta kami, seorang ratu yang tak pernah malu akan kelemahannya, buktinya dengan kelemahan yang ada pada dirinya toh ia dapat memimpin kerajaannya menjadi tangguh dan berwibawa, menghadapi situasi modern dengan keyakinannya.
Dialah ratu buta yang perkasa. Ratu yang hidup dengan hanya mengandalkan kekuatan cinta dan kasih sayangnya. Karena satu-satunya kekuatan yang paling tangguh di dunia ini hanyalah cinta, suatu kekuatan yang tak ada tandingan serta tak dapat terkalahkan oleh kekuatan apa pun. Cinta ibu adalah mulia. ***