Oleh: Bin Murarka
Angin merangkak masuk melalui kisi-kisi jendela kayu lalu perlahan merayap ke tubuh seorang perempuan yang tengah terbaring.
Tiba-tiba ia terbangun dan terpacak di sisi ranjangnya. Ia mengitarkan pandangan. Seketika ia merasa terhempas ke dalam dunia yang sama sekali tak dikenalinya. Dunia lain yang begitu kelam dan asing. Amat janggal di matanya. Kalau bukan karena kondisi lelaki tua itu, mertuanya, tak mungkin ia masuk ke dalam dunia satu warna tersebut.
Sebenarnya aku di mana? Sanggupkah aku menjalaninya?
Sore tadi, tatapan lelaki di sampingnya tepat menembus dada dan menuding dalam di hatinya. Hati yang penuh warna.
“Ini hidupku, berarti juga hidupmu!” yakin lelaki tersebut dengan seulas senyum.
“Sebagai istri yang baik, aku akan tinggal di dalamnya. Belajar untuk menerimanya.”
Padahal yang ia rasa hanyalah kepengapan. Ia melihat asap kelabu itu membumbung di sekitarnya. Menari-nari dan seakan mengajaknya bercengkerama. Menyambutnya dengan lambaian-lambaian halus kepada sang nyonya rumah baru. Ia masih menyipitkan mata, tetap bertahan, sebelum embus angin tanpa desau memporak-porandakan tarian mereka.
Jika teringat akan janji hatinya beberapa tahun lalu, ia merasa kalah. Tapi bukan berarti ia mencap dirinya sebagai pecundang. Sama sekali bukan!
“Sampai kapan pun aku tak mau masuk ke dalam duniamu. Keluargamu itu… ah, bahkan aku tak sanggup mendeskripsikannya!”
“Aku mau kau menghormati Abahku. Menghargai kedudukannya atas statusmu sekarang.”
“Pasti. Sampai kapan pun aku akan menghormatinya sebagai mertuaku. Tapi tidak untuk profesinya!”
Tunggu, apakah hal tersebut bisa dikatakan profesi?
Ia melihat dengan ekor matanya lelaki yang tengah menghisap rokok di sampingnya begitu keruh. Ada raut kecewa tampak melekat di wajahnya.
“Mengapa kau tak mau tinggal di rumahku? Seperti pasak bumi saja kau ini. Kuat menancap. Jangan sampai aku berpikir yang tidak-tidak tentangmu. Bahwa kau begitu manja. Teramat alergi dengan dinding bambu rumahku.”
“Jangan berpikir bodoh seperti tak tahu diriku saja. Aku ini gadis modern. Penuh warna. Ayahmu… semua prihalnya itu bertolak belakang dengan kehidupanku.”
[irp posts=”2422″ name=”Koko Baru untuk Haekal”]
*****
Kali ini, pasak bumi yang suaminya katakan kala itu berhasil tercerabut dari intinya. Lepas terpaksa.
Ia masih tak mau bersahabat dengan asap-asap tipis yang kian saat kian menebal. Bukan karena matanya tak sanggup menahan perih yang menjalar. Bukan demikian. Matanya sungguh terlalu tangguh sebagai perempuan modern dengan gulungan-gulungan asap rokok setiap harinya. Air matanya pun sudah jarang keluar lagi. Matanya hampir setengah kering. Masih jelas di ingatannya, bagaimana perjuangannya dulu menahan sakit pada paru-parunya yang terbakar.
“Berhentilah merokok, nona! Tak usah bersahabat dengan asapnya lagi. Paru-parumu itu bukan knalpot,” cegah sang dokter kala itu.
Maaf, dok. Mulai saat ini aku akan bersahabat dengan gumpalan asap lagi.
Yang ada di benaknya sekarang, bahwa tugasnya sebagai seorang menantu yang baik akan ia buktikan. Meski dalam hati kecilnya ada niatan besar menyertai. Dan niatan tersebutlah yang telah meluruhkan karang penolakannya dulu.
“Bawa istrimu ke sini secepatnya! Abah membutuhkan tenaganya. Katakan padanya bahwa tugasnya sebagai menantu saat ini sangat diperlukan!” perintah suara dari seberang sana terdengar panik.
Sungguh, perintah kakak iparnya tersebut bagaikan titah Fir’aun atau ultimatum Hitler yang mengancam dan wajib dilaksanakan. Horor dan menakutkan. Jika bukan karena ada nilai plus yang menyertainya -dalam sebuah kasus yang sudah terjadi, bahwa ipar-iparnya telah mendapatkan kesejahteraan yang melimpah atas harta warisan mertuanya, tak mungkin ia mau memasuki kehidupan keluarga suaminya yang dulu ia tolak.
“Mana sanggup ia merawat Abah yang sudah payah demikian.”
“Kukunya saja kayak Elang. Apakah ia rela memotongnya?”
“Lihat tuh tunik apiknya! Tak mungkinlah ia sanggup menanggalkannya.”
“Jika pun sanggup dan rela, ia pasti punya tujuan tertentu. Ingin mendapatkan warisan lebih besar dari kita.”
Segala omelan dan ejekan dari tiap-tiap iparnya mampu ia remas sebagai kertas lalu ia hanyutkan ke samudra luas. Mengapung dan hancur terhempas digulung ombak. Ia kini mulai bebal akan celotehan mereka. Baginya, perihal demikian bukan masalah sebenarnya yang menyongsong diri, tapi beban berat akan ia terima pada kesehariannya. Pada baktinya.
[irp posts=”2521″ name=”Cerpen ‘Celengan Tuhan'”]
*****
Sekali lagi ia masih tak percaya jika dirinya telah masuk dalam dunia yang dibencinya.
“Apakah asap ini setiap hari akan begini?” ia menutup hidungnya yang sudah tak nyaman mencium aroma menyengat. “Jika Abah tiada, apakah kau akan menggantikannya? Menguarkan bau kemenyan seperti ini setiap saat?”
Tentu! Suamiku adalah bungsu dan anak lelaki satu-satunya!
Dalam keluarga suaminya yang masih dipengaruhi ajaran animisme, kedudukan seorang lelaki masih dianggap segalanya dalam segala bidang dan perbuatan. Seorang lelaki akan menerima amanat secara turun-temurun dan akan lebih dijaga martabat dan statusnya dibanding perempuan. Tapi meski demikian, kedudukan perempuan pun sama sekali tak disisihkan atau diabaikan.
Seperti halnya lelaki yang tengah duduk menyeruput kopi di sebelahnya, ia teramat diharapkan sebagai penerus akan keahlian ayahnya.
“Lah, Abah kan sudah mengatakannya dulu sebelum aku membangkang karena mengikutimu.”
Perempuan tersebut mendengus. “Tapi sekarang aku sudah menjadi istri yang patuh pada suami.”
Seketika satu kecupan lembut mendarat di bibir tipisnya.
“Semoga kautahan hidup seperti ini, cinta.”
Di saat seperti itu, perempuan tersebut mampu melupakan segala beban dan menguapkan setiap lelah yang meraja dalam dirinya. Keromantisan dan sifat bijak lelaki di sebelahnya mampu meluluh-lantahkan segala lara di hati. Ia tak memedulikan betapa ia begitu lelah merawat mertuanya yang sakit parah. Memapahnya jika ingin buang hajat atau kencing, melap sekujur tubuhnya dengan handuk basah jika ingin mandi, bahkan rela membuang hajatnya yang tercecer di lantai jika kebetulan mertuanya tersebut malas beranjak dari kamar gelapnya.
“Jika kamu ikhlas, pahalanya sangat besar, nak. Merawat mertua sama saja dengan merawat Mama dan Papa,” ujar suara dari seberang sana memberi nasihat.
Apakah aku bisa ikhlas seperti apa yang dikatakan Mama?
“Tapi anak-anaknya menerorku. Menuduhku punya niatan. Katanya aku hanya menginginkan warisannya.”
“Dan apakah kamu seperti itu?”
Mendadak hening menyelimutinya ketika sang ibu bertanya demikian. Ia masih belum bisa membedakan apakah dirinya ikhlas atau tidak menjalani kehidupanya sekarang. Hanya saja ada yang berusaha mendesak keluar dari mulutnya sebagai pengakuan, bahwa sebelah hatinya ingin membuktikan kepada suami yang dicintainya tentang pengabdian dan bakti dirinya, dan sebelah hatinya yang lain menginginkan nilai plus dari bakti dan pengabdiannya tersebut.
“Duniamu masih terbilang kecil, nak. Masalahmu masih bisa dihadapi dengan sekali menjentikkan jari.”
“Tapi pemikiran dan perilaku mereka masih kolot. Amat jauh dari kata modern. Mereka juga telah syirik.”
Ada hela napas dari seberang sana. “Yang terpenting mereka masih mau menjalankan syariat. Tapi Mama amat bersyukur kamu bisa berubah baik sejak masuk ke keluarga mereka. Asalkan kamu tidak terpengaruh oleh paham mereka yang keliru.”
Semoga saja, Mama…
*****
Kondisi mertuanya semakin memburuk.
Hampir setiap saat lelaki tua tersebut mengerang dan meraung. Kadang jika malam, raungannya tersebut terdengar layaknya harimau kesakitan. Merintih dan mengiba. Konon, sakitnya seorang yang berilmu ‘tanpa syariat’ ketika sekarat lakunya seperti binatang hingga ajal menjemput.
Apakah mertuaku termasuk demikian?
Hening mencekam setiap hati. Lelaki tua yang tersohor hampir ke setiap pelosok desa telah dijemput sang Ijroil. Banyak isak yang meratap, pun berbagai tudingan pedas menikam ulu hati perempuan yang telah merawatnya.
“Abah telah menuliskan wasiat sebelum kematiannya.”
Dalam hati yang tercabik ia begitu sumringah mendengar wasiat yang telah ditulis mertuanya.
*****
Angin seakan menarik-narik ujung rambutnya dengan paksa.
Di balik jendela yang terbuka, ia terpatung dalam temaram senja yang kian menyusut. Matanya sembab tanpa menggulirkan butir kristal. Air matanya seolah beku dan mengental. Betapa hatinya teramat masygul menyadari nasib yang menimpanya. Sekarang, ia benar-benar tidak bisa lepas dari dunia barunya.
Tuhan Mahatahu setiap hati. Hatiku masih belum ikhlas merawatnya…
“…dan untuk anak bungsuku, ia kuwariskan gubuk dan segala kepandaianku, tanpa harta benda apa pun!”
Seperti ditarik ke sudut ruangan, sejurus tatapannya terpancang pada sebuah talam perak yang di atasnya sudah tersaji sebungkus keretek, minuman kopi dan teh sebanyak tujuh gelas. Seketika ia mencium bau kemenyan menyeruak di sekitarnya. Asap pun kian mengepul memenuhi kamarnya. Tersenyum dan melambai-lambai mengajaknya bercengkerama.
Seorang lelaki duduk bersila menghadap talam perak seraya terpejam. Mulutnya komat-kamit merapal mantra. Kini, perempuan modern tersebut resmi sebagai istri sang dukun baru. ***