Oleh : Bin Murarka
Darah mengalir dari hidung Din.
Diusapnya cairan yang meler dari hidungnya. Ia terkejut melihat punggung tangannya berwarna merah. Segera ia bangkit lalu menghadap cermin besar yang menggantung di dinding kayu. Dari pendar cahaya matahari yang masuk melalui lubang jendela, sejurus ia melihat sosoknya.
Astagfirullah! Darahnya semakin banyak saja.
“Din, bangun, Nak. Apa kamu tidur lagi?” terdengar ketukan beberapa kali di pintu.
“Tidak, Mak. Din lagi nulis.”
“Ayo, salat duha dulu. Sudah hampir jam delapan nih, Din.”
Din meraih selembar tisu dan menyumpalkan pada hidungnya. Lalu ia segera keluar.
“Kamu mimisan lagi?”
“Cuma sedikit,” Din menyembunyikan perihal sebenarnya. Ia tak mau Emak mengkhawatirkannya.
Emak meraih mukena yang selalu menggantung di dinding, lalu mengenakannya. Sekilas Din melihat Emak merayapi mukena lusuhnya sambil tertunduk. Hati Din mendadak bergetar. Ingatannya lalu tertarik pada kejadian satu tahun yang lalu…
***
Seorang gadis belia memapah Emak.
“Emak kenapa, Yan?” Din terkejut. Din menatap serius kepada gadis di depannya, meminta penjelasan. Sementara gadis tersebut cepat-cepat mengalihkan pandangannya kepada Emak.
“Saya ke musala lagi ya, Mak,” tanpa menunggu jawaban Emak, gadis tersebut langsung berlalu meninggalkan Din dengan rasa penasaran yang bercokol.
“Ambilkan Emak air hangat, Din!” Emak meringis, “pake baskom kecil. Dan tolong…”
Tanpa menunggu Emak melanjutkan bicaranya, Din segera bergegas. Dia sudah tahu apa yang akan Emak katakan.
“Emak kenapa bisa sampe terkilir begini?” Din cemas. Ia mencelupkan handuk kecil ke dalam air hangat lalu mengompreskannya pada punggung kaki Emak.
“Tadi Emak jatuh pas lagi rukuk. Tersenggol anak-anak.”
“Emak salat di belakang lagi? Kenapa?”
Emak mengangguk. “Emak malu, Din. Mukena Emak sudah lusuh dan khawatir akan sobek pas dibawa rukuk atau sujud.”
Hati Din seperti diiris sembilu mendengar penuturan Emak. Seketika matanya mengembun. Tapi ia berusaha mengerjap-ngerjapkannya agar bulir kristal yang mengembun bisa menguap.
“Honor ngajar di madrasah bulan ini akan Din belikan mukena saja,” lirihnya seraya mencium kaki Emak.
“Tidak usah. Lebih baik kamu belikan koko buat salat idul fitrimu nanti.”
“Koko tahun kemarin juga masih bagus kok, Mak.”
Emak menghela napas. Ia mengusap lembut rambut ikal anaknya. “Kalau begitu beli obat saja buat Bapakmu.”
“Tapi Emak ingin mukena, kan?”
Emak mengulas senyum yang terlihat getir di mata Din. “Cepat ke masjid! Tarawihnya sebentar lagi di mulai.”
Din bangkit dan mengencangkan gulungan sarungnya.
“Nanti pulang dari masjid mampir dulu ke Bu Lurah, bilang besok sore Emak tidak bisa membawakannya pisang goreng. Kasihan, takut ia menunggu.”
“Mereka orang kaya, Mak. Pasti banyak takjil-takjil yang lain.”
“Tapi jangan salah loh, Din. Neng Sri sangat menyukai pisang goreng buatan Emak. Oya, sepertinya ia naksir kamu tuh!” goda Emak.
“Gak mungkin lah, Mak. Sri itu temannya artis semua.”
“Memang kenapa? Emak yakin ia naksir kamu!” sejurus kemudian pandangan Emak menatap ke depan. Ia masih ingat betul bagaimana pendar mata Sri ketika nama Din disebut.
***
Puluhan baliho terhampar di lantai. Ada beberapanya yang masih tergulung.
“Ayah yakin ingin mencalonkan diri jadi anggota dewan?”
“Yakin lah, Sri. Foto ayah sudah diprint begitu. Gede-gede lagi. Terlihat gagah, kan?” bangganya.
“Sri malu mendengar gunjingan teman-teman kuliah nanti.”
“Kenapa mesti malu? Harusnya kamu bangga status ayah akan lebih tinggi lagi.”
“Mereka tahu ijazah ayah hanya sebatas SD. Kasus tiga bulan yang lalu masuk koran.”
Lelaki dengan perut sedikit buncit tersebut mendengus. “Alah! Nanti juga terbawa angin. Mereka semua akan lupa tentang kasus itu.”
“Lebih baik dukung ayahmu. Ajak teman-temanmu untuk promosi. Jangan terlalu cemas. Iya kan, Mak?”
Emak yang dari tadi tak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka mengangguk mengiyakan pernyataan Bu Lurah. Ia dan hampir seluruh masyarakat sudah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada keluarga tersebut. Tentang kasus penggelapan subsidi masyarakat Neglasari hingga terungkap masalah pemalsuan ijazah SLTA yang Pak Lurah lakukan.
“Betul itu!” terlihat seorang perempuan dengan dandanan glamor memasuki ruangan. Emak menarik tubuhnya mundur ketika perempuan glamor tersebut hampir menabrak dirinya yang tengah berbungkuk hendak meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja. Perempuan tersebut mencomot satu pisang goreng.
“Saya akan mengajak teman-teman arisan untuk mempromosikan bapakmu,” ucapnya sambil tetap mengunyah pisang goreng. “Dengan promosi dari kami saya yakin bapakmu akan mendapatkan kursi, bahkan banyak sponsor yang akan membiayai kampanyenya nanti.”
“Aduuuh, terima kasih!” ucap Bu Lurah seraya memberikan pelukan hangatnya. “Oya, bagaimana dengan bisnis berliannya?”
“Alhamdulillah lancar. Malah sekarang saya lagi menjalankan bisnis penjualan mukena Turki. Sebentar lagi kan mau puasa.”
“Dari Turki asli?”
“Sebenarnya bukan sih,” ucanya pelan seraya mengeluarkan satu mukena dari dalam tas mengilapnya. “Produk lokal tapi sudah saya sulap menjadi mukena berkelas.”
“Ini asli berlian?” mata Bu Lurah terbelalak. Ia menyentuh dengan hati-hati taburan payet yang ada di bagian kepala mukena.
Perempuan glamor tersebut mengangguk mantap. “Kalau mau Ibu bisa mengambil yang ini. Saya kasih potongan harga deh! Mumpung belum diserbu teman-teman artisku.”
Rupanya dari dapur Emak memerhatikan perbincangan antara Bu Lurah dengan tamunya. Meski ia tidak tahu persis berapa harga mukena yang sedang diperbincangkan tapi ia sudah bisa menebak jika mukena tersebut pasti harganya sangat mahal.
“Emak mau mukena itu?”
Emak tersentak karena tanpa ia sadari Sri sudah berada di sampingnya. “Ah, tidak mau, Neng. Kemahalan. Takut ria juga.”
Mata Sri tiba-tiba mengembun. “Mereka susah dibilangin. Saya malu dengan omongan tetangga, Mak. Hidup mereka terlalu mewah. Mereka tak berpikir bahwa di sekitarnya masih banyak orang yang kesusahan. Bahkan hanya sepotong mukena saja harganya sampe jutaan. Padahal masih banyak ibu-ibu yang tak mampu membeli mukena seharga seratus ribu saja.”
Deg!
“Oya, bagaimana kabar, Din?”
“Semakin ganteng saja dia,” goda Emak.
Mendadak ada bintang yang berpijar di mata Sri. Embun yang tadi menggayut di matanya tiba-tiba lenyap.
***
Keringat bercucuran dari tubuh Din.
“Kamu sering bekerja seperti ini? Memanen sawah ayahku?”
“Jika kebetulan lagi gak ngajar, Sri,” Din menyeka peluh yang keluar dari dahinya. “Aku ingin membelikan Emak sesuatu. Honor ngajarku gak cukup.”
“Memang Emak ingin apa?”
“Bang Din?” tiba-tiba terdengar suara memanggil Din dari belakang saung. “Cerpen yang Yani ketik sudah terkirim.”
Din bergegas mendatangi arah suara. Sri menatapnya penuh kecewa. Tapi yang lebih kecewa adalah Yani. Mukanya keruh tanpa warna.
“Bang Din selingkuh. Kalian begitu akrab. Bang Din tahu kan Abah telah menjodohkan kita?”
“Selingkuh?” Din terkekeh. “Sri tadi cuma mengantar makanan.”
Apa itu bisa dikatakan selingkuh? Bukankah keintiman yang sudah kusaksikan kemarin adalah perselingkuhan sebenarnya?
***
Keadaan rumah begitu senyap.
Ke mana penghuni rumah ini? Sampai-sampai salamku tidak ada yang menjawab.
“Bu Lurah!” suara Din menggema.
Beberapa detik kemudian Pak Lurah muncul dari arah kamar.
“Ada apa, Din?”
“Eh, tadi pintunya terbuka. Jadi saya masuk saja,” Din segera mengalihkan pandang karena sekilas ia melihat resleting celana Pak Lurah terbuka. Ia merasa malu mengetahuinya. “Ibu ke mana ya, Pak?”
“Oh, Ibu lagi ke pasar sama Sri,” Pak Lurah masih tak menyadari resletingnya terbuka, hingga ketika ia duduk, pemandangan tersebut semakin jelas, “mau mengambil uang pisang goreng, kan? Nanti saya kasih tahu Ibu kalau sudah datang.”
“Kalau begitu saya pamit dulu,” Din beranjak menuju pintu. Tapi dari sudut matanya ia bisa melihat seorang perempuan keluar dari kamar Pak Lurah.
***
Brukkk!
“Din!!!” Emak berteriak memburu Din.
Salat duha mereka baru satu rakaat ketika tiba-tiba Din ambruk di atas sajadah. Emak mengangkat lalu membaringkan tubuh Din dalam pangkuannya.
“Kamu kenapa, Nak?” isaknya seraya menyeka darah yang keluar dari hidung Din. Mukena lusuhnya memerah terkena bercak-bercak darah.
Begitu paniknya ia. Anak satu-satunya yang menjadi kebanggaan dirinya kini rebah dalam pangkuan. Entah kenapa. Sudah cukup derita yang ia alami dengan kondisi suaminya yang bertahun-tahun lumpuh tak berdaya. Apakah kini anaknya pun harus terbaring bersama ayahnya?
Aku pasrahkan semua takdirku kepada-Mu Ya Allah…
Mata Din terbuka. Yang pertama ia lihat adalah wajah Emak penuh kasih. Gurat halus di sekitar matanya tampak jelas mengarsir kulit pucatnya. Ada embun bening yang menggayut di pelupuk matanya. Kemudian pandangannya berputar ke sekeliling ruangan. Ada Yani terpatung di sebelah Emak.
“Bang Din. Cerpenmu sudah dimuat,” Yani tersenyum seraya menyerahkan gulungan koran kepada Din.
Din tersenyum bahagia. Sebelum membuka tiap halamannya, sejurus mata Din terfokus pada sebuah berita yang terpampang di halaman muka.
Seorang artis ibukota terlibat skandal dengan kepala desa Neglasari yang gagal dalam pencalonannya sebagai anggota dewan. Naasnya lagi, rumah mewah artis tersebut disatroni perampok yang berhasil menggondol semua perhiasannya.
Din menghela napas pelan. Kemudian ia menatap Yani untuk meminta penjelasan selanjutnya.
“Kata pihak koran, royaltinya sudah bisa diambil sebelum lebaran.”
“Mak,” Din menelan ludah. Ada bening bergulir dari sudut matanya. “Mukena impian Emak baru sekarang bisa Din kabulkan.”
“Tidak usah. Lebih baik uangnya untuk biaya pengobatanmu. Biarlah Emak memakai mukena itu saja. Yang penting salatnya, kan?”
“Tapi semoga dengan mukena ini salat Emak lebih khusuk lagi!” ucap sosok cantik yang tiba-tiba muncul. Ia menyerahkan sebuah bingkisan kepada Emak.
“Maaf, Mak. Ini bukan mukena Turki yang ada berliannya itu. Artisnya kerampokan,” gadis tersebut mengulas senyum seraya memeluk Emak. Ada haru antara keduanya.
Bulir-bulir bening mengalir di pipi Emak.***