“Kapitalisme telah mendorong dan mengharuskan adanya pencaplokan wilayah keluar (ekspansi) yang bertujuan untuk menguasai pasar, sumber pasokan bahan baku, serta bertujuan melakukan pengumpulan modal sebanyak-banyaknya (Capital Accumulation) melalui cara penanaman modal (Capital Invesment) yang dilakukan secara non fisik (daya saing dalam sebuah sistem yang mengunggulkan perdagangan bebas) setelah perang dunia ke-II , yang sebelumnya dilakukann dengan cara penjajahan fisik (kekuatan militer menjadi andalan utama),”
– Max Webber
Telah terjadi proses sejarah yang sangat panjang pada zaman renaissance dimana Martin Luther sebagai pelopor gerakan reformasi atas penggugatan absolutisme kekuasaan Gereja Khatolik Eropa yang isi pokok penyangkalannya terhadap otoritas mutlak Gereja katholik Roma. Dan ajaran Martin Luther ini berkembang cepat terutama di Jerman, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Belanda. Pemikiran Martin Luther selanjutnya dikembangkan oleh Johan Calvin (1509-1564) dan setelah itu melahirkan apa yang dikatakan oleh Max Weber disebut dalam bukunya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism menyatakan bahwa kerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi, kerja adalah suatu tujuan akhir spiritual. Max Weber juga berpendapat bahwa “…Protestantisme yang dibangun oleh Luther dan Calvin telah mempengaruhi tumbuhnya kapitalisme muda…”
Kapitalisme telah mendorong dan mengharuskan adanya pencaplokan wilayah keluar (ekspansi) yang bertujuan untuk menguasai pasar, sumber pasokan bahan baku, serta bertujuan melakukan pengumpulan modal sebanyak-banyaknya (Capital Accumulation) melalui cara penanaman modal (Capital Invesment) yang dilakukan secara non fisik (daya saing dalam sebuah sistem yang mengunggulkan perdagangan bebas) setelah perang dunia ke-II , yang sebelumnya dilakukann dengan cara penjajahan fisik (kekuatan militer menjadi andalan utama).
Berdasarkan ideologi kapitalisme maka jumlah dan macam produksi tidak lagi dibatasi oleh kebutuhan alamiah manusia, melainkan sebaliknya kebutuhan manusia terus dikembangkan agar mau menampung hasil produksi. Sistem ini berhasil untuk memperluas penawaran barang dan pelayanan bagi masyarakat melalui pembaharuan teknologi. Terwujudlah kemudian apa yang dinamakan masyarakat konsumtif dimana mereka secara otomatis akan memperluas kebutuhan-kebutuhannya sesuai dengan barang yang dilemparkan ke pasar oleh para produsen. Sebagaimana dikatakan oleh Futurologiwan Hermann Kahn teknologi adalah motor kemajuan dan ilmu sebagai bahan bakarnya. Menurut Franz Magnis Suseno, kapitalisme begitu mengedepankan ilmu dan tekhnologi serta mengingkari nilai-nilai intrinsik alam. Dan Franz Magnis Suseno juga menambahkan bahwa dalam kapitalisme sumber daya alam hanya dijadikan sarana belaka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Lebih lanjut dikatakannya “bahwa alam bernilai pada dirinya sendiri dan oleh sebab itu perlu dipelihara tidak termasuk dalam wawasan kapitalisme”. Oleh karena itu sumber daya alam dapat dieksploitasi secara besar-besaran untuk kepentingan maksimalisasi laba. Dari pernyataan Franz Magnis Suseno ini dapat dijelaskan bahwa kapitalisme mengkonsepsikan lingkungan dalam pandangan yang antroposentrik.
Lembaga-lembaga keuangan dalam sektor ekonomi sebagai representatif dari kapitalisme membentuk diantaranya World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) dibentuk pada tahun 1947, General Agreement Tarriff and Trade (GATT) dibentuk pada tahun 1947 yang bertujuan untuk mengendalikan negara berkembang. Kapitalisme juga masuk dari sektor sosial yang di introduksikan ke negara-negara berkembang termasuk indonesia tentang teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat tahun 1948, dan teori modernisasi tersebut sebagai suatu cara untuk mencapai modernisasi melalui kapitalisme yang mengatakan ekonomi harus bertumpu kepada pembangunan ekonomi dan sesuai dengan paham kapitalisme dalam teori modernisasi ini yaitu meminimalkan peran negara dalam hal-hal ekonomi serta mengedepankan peran swasta.
Modernisasi di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang banyak berperan adalah pelaku-pelaku non negara, tapi di negara-negara dunia ketiga modernisasi bermula dari peran negara yang mendominasi kemudian memunculkan koalisi kepentingan yang berkolaborasi antara kapitalisme global dengan penguasa negara dan pengusaha. Penguasa negara mengambil keuntungannya untuk pribadi, sedangkan kapitalisme global yang di representasikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional menjaga dan terus memperbesar modal demi kepentingan akumulasi modal. Terjadi banyaknya kerusakan lingkungan bersifat lintas batas negara yaitu berkurangnya keanekaragaman hayati yang selanjutnya PBB melalui badan yang dibentuknya pada tahun 1987 World Commission on Environment and Development (WCED) merumuskan konsep yang pada perkembangannya melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, tapi pada perjalanannya paham gerakan yang memperjuangkan kelestarian lingkungan ternyata sebenarnya untuk keberlangsungan ekonomi dan pengumpulan modal yang merupakan salah satu strategi kapitalisme.
Sistem hukum modern merupakan sistem hukum positif yang berlandaskan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum barat serta sebagian besar hukum romawi dengan ciri berasal dari tatanan masyarakat eropa barat dibangun dalam tradisi pemikiran hukum yang dapat dikonstruksi secara netral, tidak berpihak, operasional dan objektif. Dalam pasal 35 konvensi keanekaragaman hayati mulai berlaku pada tangg al 29 desember 1993 yaitu 90 hari setelah penyimpanan piagam ratifikasi ke 30. Pasal 15 ayat (1) konvensi keanekaragaman hayati menyatakan diterjemahkan dalam bahasa indonesia bahwa konvensi ini menjunjung tinggi kedaulatan negara atas sumber-sumber alamnya dan kewenangan negara untuk menentukan akses sumber daya genetiknya. Pasal 15 ayat (2) konvensi menyatakan bahwa setiap negara peserta konvensi akan menjamin adanya kondisi yang memungkinkan adanya akses bagi negara lain untuk mendapatkan sumber daya genetik (genetic resources) dan tidak akan menentukan pembatasan-pembatasan yang bertentangan dengan tujuan konvensi ini. Pada hakekatnya pasal 15 ayat (2) tersebut mempunyai manfaat tinggi bagi umat manusia, sehingga praktis tidak memiliki sifat kerahasiaan dan karena itu setiap negara manapun boleh menggunakannya. Ketentuan pasal 15 ayat (2) tersebut apabila dicermati terlihat menunjukan pada anggapan bahwa keragaman hayati harus dipahami sebagai Common Heritage of Mankind (warisan bersama umat manusia), sekalipun didalam pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa negara tidak akan kehilangan kedaulatannya atas sumber daya alam keanekaragaman hayati yang dikuasai negara bersangkutan.
Sebenarnya upaya negara-negara maju untuk menetapkan keanekaragaman hayati diperlakukan sebagai Common Heritage of Mankind sudah lama dilakukan melalui forum Food and Agricultur (FAO) dengan kecanggihan tekhnologi rekayasa yang bisa mendapatkan keanekaragaman hayati secara bebas dan gratis. Dan prinsip Common Heritage of Mankind akhirnya dikemukakan oleh International Undertaking on Plant Genetic Resources (organisasi internasional yang didirikan oleh negara-negara untuk menangani masalah sumber daya genetik yang berasal dari tumbuhan) dan Comunision on Plant Genetic Resources dari organisasi pangan sedunia Food and Agriculture Organization (FAO). Dan tidak adil apabila keragaman hayati diperlakukan sebagai warisan bersama umat manusia, sementara arus balik komoditas yang berasal dari pengolahan sumber daya hayati di hargai, di patenkan (salah satu instrumen perlindungan kekayaan intelektual. Paten, hak cipta, merek dagang keseluruhannya disebut sebagai hak kekayaan intelektual) dan perusahaan-perusahaan dari negara-negara utara (negara maju) memonopolinya.
Kesepakatan tersebut bisa dipahami bahwa isi ketentuan konvensi tersebut telah disetujui bersama karena diyakini bersifat netral, tidak berpihak dan objektif yang semata-mata demi perlindungan keanekaragaman hayati dan selanjutnya menimbulkan pertanyaan kritis, apakah benar konvensi ini tidak memihak, bersifat netral, dan semata-mata hanya untuk perlindungan keanekaragaman hayati yang semakin menyusut.
Abad ke 16- san ilmu-ilmu alam terpisah dari kaitannya dengan keagamaan melalui pengamatan, perbandingan, eksperimen dan falsifikasi empiris dan dengan cara itu rahasia-rahasia alam mulai tersingkap dan pada abad 16-san tersebut rasio menjadi sandaran utama sebagai kekuatan berfikir dalam melakukan kegiatan. Francis Bacon (dari inggris) dan Rene Descartes (dari Perancis) mengatakan bahwa alam dan benda-benda alamiah lainnya tidak mempunyai jiwa seperti manusia, ilmu-ilmu alam hanya didasarkan pada rasio, pengalaman dan impersonal (tidak bersifat pribadi atau tidak berkaitan dengan seseorang). Aguste Comte dalam terorinya hukum tiga tahap yang bertolak dari kepastian bahwa terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan gejala hidup bersama itu mutlak. Teori hukum tiga tahap tersebut adalah tahap teologis (manusia percaya bahwa dibalik gejala-gejala alam ada kuasa Tuhan) . Tahap Metafisik ( mempelajari penjelasan asal atau hakikat objek (fisik) di dunia yang berkaitan dengan Tuhan). Tahap Positif ( menyusun dan mengatur segala gejala dibawah satu fakta yang umum).
Kemudian mazhab yang dikembangkan oleh Agus Comte menjadi paradigma yang dominan dalam ilmu sosial secara lebih komperehensip. Denzin dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai sistem filosofis utama ”payung” yang meliputi ontologi (Cabang filsafat yang berhubungan dengan mahluk hidup). Epistimologi ( cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan). Metodologi (cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan cara tertentu yang terstruktur untuk memperoleh ilmu). Popkewitz mengartikan paradigma sebagai konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan oleh suatu nilai dan dikembangkan lagi untuk memahami sejarah dan kondisi sosial yang pada gilirannya menjadi kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial. Mansour Fakih menyatakan paradigma mempengaruhi seseorang atas pandangannya terhadap adil dan tidak adil.
Positivisme dan kapitalisme merupakan dua fenomena yang proses historisnya berbeda dan masing-masing berdiri sendiri. Paradigma positivisme mulai tumbuh pada abad ke-18. Santos mengatakan paradigma positivisme mempunyai hubungan dekat dengan kapitalisme dan mazhab positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisir, sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Mazhab positivisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid. Santos juga mengatakan paradigma positivisme didalam epistemologi ilmu pengetahuan modern terjadi pada abad ke-18. Paradigma positivisme mulai mempengaruhi hukum sejak abad ke 19 dan ditandai oleh adanya saintifikasi hukum modern, dan di masa ini kapitalisme menjadi prinsip yang mendasari produksi dan dominan di eropa barat. Pengaruh positivisme yang begitu kuat menyebabkan saintifikasi hukum modern memisahankan diri dari ajaran kuno, pengaruh hukum alam (natural law), terutama pengaruh-pengaruh teologi. Boaventura De Sousa Santos menambahkan saintifikasi hukum yang mulai tumbuh pada akhir abad ke 19 dan mencapai puncaknya pada dua dekade sesudah perang dunia kedua juga bertujuan untuk melindungi ekonomi pasar yang kompetitif melalui kebebasan yang dijamin oleh peran negara.
Ada tiga periode perkembangan kapitalisme dalam pergeseran pemikiran kapitalisme sebagai strategi dan perilaku negara-negara barat untuk mempertahankan dominasinya, diantaranya periode pertama ( berlangsung selama abad ke 19 ), negara sebagai institusi pasif, hanya sedikit saja mengurusi kepentingan umum dan pada periode ini konsepsi negara dilandasi filsafat liberal yang dirumuskan dalam dalil “the least government is the best government” (pemerintah yang sedikit mencampuri warganya adalah yang paling baik). Pada periode kedua disebut juga neo kapitalisme (neo liberalisme) sebagai periode kapitalisme terorganisir berlangsung pada akhir abad ke 19 serta mencapai puncaknya pada dua dekade sesudah Perang Dunia Kedua. Faham sosialis yang dipelopori oleh ahli ekonomi inggris John Maynard Keynes telah menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi state-ism, yang mengarah kepada kuatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat, dan gagasasan John Maynard Keynes inilah yang melahirkan neo-kapitalisme (neo liberalisme).
Akan tetapi pada perjalanan selanjutnya di dalam neo-liberalisme, akumulasi modal kaum kapitalis mulai begerak lamban, beberapa penyebabnya antara lain masuknya paham sosial, paham kesejahteraan rakyat, paham pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat dan proteksionisme (paham bahwa ekonomi dalam negeri harus dilindungi pemerintah dari persaingan luar negeri). Oleh karena itulah timbul dorongan bagi negara-negara kapitalis untuk menyingkirkan hal-hal atau mengurangi pengaruh paham-paham itu. Strategi neo-liberalisme kemudian adalah menyingkirkan segenap rintangan investasi, pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, deregulasi pasar dan penghapusan subsidi pelayanan sosial. Paham neo- liberalisme dalam prakteknya dilaksanakan dengan membebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, untuk mengatur diri sendiri di bidang perburuhan, harga dan investasi. Pada periode pertama kapitalisme telah menimbulkan kesenjangan bahkan kekacauan dalam masyarakat di beberapa negara Eropa Barat tapi prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas tidak dihilangkan sama sekali dan hal tersebut berimplikasi dibidang hukum sehingga dari hal tersebut mucul kerangka berfikir yang memadukan prinsip-prinsip pasar bebas dan paham welfare state (bahwa negara harus menciptakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial).
Oleh karena itu hukum administrasi negara yang berasal dari konsep pemikiran Eropa Barat pada awal abad 20 disusun untuk melayani kepentingan warganya dan dalam ketentuannya ada batas yang jelas tentang tindakan negara. Hukum tata negara didasarkan pada asumsi kebebasan individu. Negara harus menjamin hak asasi melalui proses politik dan administrasi yang sangat terbatas, terukur dan dapat diprediksi yang didasarkan pada peraturan dan prosedur yang bersifat impersonal dan tidak memihak (impartial) dan dari sinilah kemudian muncul konsep The rule of law.
Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa konsep The rule of law mempunyai social sources yang spesifik, yaitu masyarakat kapitalis di Eropa pada abad ke 19. Berkaitan dengan Rule of law ini Andrew Altman diterjemahkan kedalam bahasa indonesia bahwa elemen paling penting dari liberal legal philosophy adalah prinsip the rule of law dan dengan konsep tesebut maka mekanisme permintaan dan penawaran, penanaman modal untuk menumpuk keuntungan, kepemilikan (ownership of property) dapat memperoleh jaminan prediktabilitas dan keamanan. Penganut Studi Hukum Kritis menyampaikan pandangannya bahwa konsep the rule of law tidak lebih sekedar mitos belaka yang dalam hal ini tersirat dari pernyataan Andrew Altman “The central contention of Critical Legal Studies is that the rule of law is a myth” maksudnya dalam pandangan studi hukum kritis melalui hukum, pihak yang kuat akan melegitimasikan dominasinya. melalui dominasi ini masyarakat diarahkan untuk percaya bahwa mereka diatur berdasarkan rule of law not of man. Pandangan Studi Hukum Kritis juga percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relationships dalam masyarakat.
Keberadaan hukum sebagai pendukung kepentingan-kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini maka, mereka yang kaya dan kuat, menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan (oppression) kepada masyarakat sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. Fenomena ini juga berlaku dalam tatanan masyarakat internasional. Mengingat ada dominasi ekonomi dan politik negara-negara Utara maka hal ini menciptakan power relationships yang tidak seimbang antara negara-negara Utara dengan negara-negara Dunia Ketiga. Akibatnya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang sesungguhnya diberlakukan untuk menjamin kepentingan dominasi ekonomi negara-negara Utara pun di era Globalisasi dapat diberlakukan dengan mudah di dunia.
Pada perkembangan selanjutnya paham kesejahteraan bersama dan pemilkan komunal yang masih banyak dianut masyarakat di negara-negara dunia ketiga dianggap sebagai penghalang pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara penganut neo-liberalisme. Pemilikan komunal dianggap telah merintangi pengembangan hak kekayan intelektual sedangkan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat-masyarakat setempat (masyarakat adat/tradisional) dianggap tidak akan mampu menghasilkan pengelolaan yang efektif demi kepentingan kapitalisme. Berdasarkan hal tersebut maka disusunlah konsep pengelolaan sumber daya alam oleh para ahli dari negara-negara kapitalis yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara Dunia Ketiga untuk menyingkirkan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat setempat yang dianggap tradisional.
Setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) selesai, terjadi perubahan yang mendasar dalam hubungan antar negara di bidang politik, sosial dan ekonomi. Negara-negara kapitalis (Amerika Serikat dan Eropa Barat) tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik karena tuntutan keadaan yang berubah. Dari pandangan kepentingan kapitalisme jelas hal ini akan menghambat ekspansi pencarian bahan mentah dan peningkatan pemupukan modal. Menghadapi hal demikian pada bulan juli tahun 1944 negara-negara tersebut mengadakan pertemuan di desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat untuk merumuskan strategi baru menghadapi negara-negara baru merdeka dan hasil tersebut di bidang ekonomi adalah:
Membentuk World Bank dan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) yang didirikan tahun 1945 dan mulai beroperasi tahun 1946. Lembaga ini berfungsi memberi pinjaman kepada negara-negara yang baru merdeka atau hancur akibat Perang Dunia Kedua, untuk pembangunan, dengan persyaratan model pembangunan sebagaimana ditentukan negara-negara kapitalis tersebut. Mendirikan IMF (International Monetary Fund) yang didirikan tahun 1945 dan mulai beroperasi tahun 1947 untuk memberikan pinjaman kepada negara-negara yang kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri. Mendirikan General Agreement on Tarrif and Trade (GATT) yang mulai beroperasi pada ahun 1947 untuk memajukan dan mengatur perdagangan bebas multilateral.
Di Periode ketiga dimulai pada akhir tahun 1960-an disebut periode kapitalisme tak terorganisir (period of disorganized capitalism) artinya bentuk-bentuk spesifik dari kelembagaan yang tumbuh pada periode kedua secara bertahap telah ditata kembali menuju pada tingkat koherensi yang sebagian besar transformasi pada periode ketiga memberi perlindungan pada prinsip pasar, yang tampak menjadi lebih hegemonis sebagai dasar peraturan modern.
Menurut Max Weber hukum modern merupakan hukum yang menjadi alat untuk mengatur ekonomi pasar dan pengembangan institusinya. Karakter hukum modern sifatnya rasional, rasionalitas ditandai oleh sifat hukum prosedural, dengan demikian prosedur menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakan keadilan, bahkan prosedur lebih penting daripada bicara tentang keadilan. Didalam konteks ini akan gagal apabila terbentur pelanggaran prosedur dalam upaya pencarian keadilan. Tapi dalam pelaksanaannya indonesia yang menganut prinsip the rule of law ternyata masih jauh dari keinginan prinsip the rule of law itu sendiri. Achmad Ali menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Dari Formal Legalistik ke Delegasi” yaitu ….yang lebih memprihatinkan lagi, karena akibat penggunaan kacamata positivistik kaku dalam menerjemahkan berbagai undang-undang (di indonesia:penulis), sehingga berbagai kebijakan penegak hukum maupun putusan hakim, gagal untuk mencapai suatu keadilan yang substansial, melainkan hanya sekedar mencapai keadilan yang prosedural.
Lahirnya sistem hukum modern (hukum positif) pada waktu itu seiring perkembangan industrialisasi dan kapitalisme yang diikuti oleh perubahan-perubahan sosial, budaya, politik dan ekonomi pada masyarakat Eropa Barat. Menurut Satjipto Rahardjo munculnya sistem hukum modern (the modern legal system) merupakan respon terhadap sistem produksi ekonomi baru ( kapitalis), karena sistem yang lama sudah tidak bisa lagi melayani perkembangan-perkembangan dari dampak bekerjanya sistem ekonomi kapitalis tersebut. Dengan demikian tidak dapat di sangkal sistem hukum modern merupakan konstruksi yang berasal dari tatanan sosial masyarakat Eropa Barat semasa berkembangnya kapitalisme pada abad ke 19 yang bercorak liberal.
Donny Gahral Adian, menyatakan positivisme melembagakan pandangan objektivitasnya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unfied science). Doktrin ini mengatakan bahwa ilmu alam dan ilmu sosial harus berada dibawah payung (paradigma) positivisme. Doktrin kesatuan ilmu memuat kriteria-kriteria untuk ilmu pengetahuan diantaranya: Bebas nilai: dalam hal ini peneliti atau pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai dan emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif; Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi empirik; Realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
Doktrin-doktrin hukum yang diilhami oleh paradigma positivisme seperti hukum bersifat netral, imparsial (tidak memihak/netral), impersonal (tidak berkaitan dengan seseorang) dan objektif artinya pelaku-pelaku hukum yang didalam praktek nanti tidak akan pernah melibatkan keyakinan pribadi, nilai-nilai sosial budaya atau pertimbangan subjektif lain, manakala yang bersangkutan akan menangani perkara dengan jabaran-jabarannya dalam prinsip equality before the law misalnya menjadi ajaran yang tidak dapat dibantah keabsahannya dan menjadi bagian integral dalam materi pendidikan hukum (termasuk di indonesia) tapi didalam praktek ternyata masih menimbulkan kegalauan rasa keadilan, sekalipun (mungkin) secara formal sudah dinyatakan menghasilkan keadilan.
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya melalui perusahaan-perusahaan multinasional. ***
Penulis, Dede Kurniawan
Mahasiswa Pasca Sarjana Untirta