SERANG, BantenHeadline.com – World Resources Institute (WRI), Bank Dunia, dan UNDP telah mengingatkan ancaman krisis pangan dan bahaya kelaparan akan terjadi dalam tiga dekade mendatang. Perselisihan akibat perebutan akses sumber pangan diperkirakan memanas dan menyulut terjadinya perang di banyak tempat.
Konflik regional diduga kuat akan sulit terhindar dan memicu terjadinya banyak kematian. Sementara krisis air bersih, pemanasan global, dan iklim yang makin tak bersahabat ikut memperburuk keadaan.
Kekhawatiran itu telah mendorong sejumlah anak muda milenial mengambil inisiatif mengampanyekan pentingnya kemandirian dan ketahanan pangan melalui forum Pendaringan. Mereka mendesak agar semua pihak secara serius merumuskan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi krisis pangan, yang disebut para ahli, akan sangat sulit terhindar.
Aida Syamsuhadi, yang menginisiasi terbentuknya Pendaringan menyebut, negara-negara yang memenuhi kebutuhan pangannya melalui kebijakan import akan menjadi yang pertama-tama terkena dampak krisis pangan. Bahkan 10 tahun lebih awal dari negara-negara lainnya.
Keteledoran yang dipicu oleh kebijakan import yang serampangan bukan hanya menciptakan ketergantungan. Lebih buruk dari itu, import yang tak terkendali dicemaskan mengganggu kedaulatan dan ketahanan pangan untuk jangka waktu yang lebih panjang
”Kita semua tentu ingin Indonesia secara fundamental kokoh. Sudah saatnya kita mengarahkan fokus perhatian pada penguatan sendi-sendi ketahanan pangan. Profesi petani, peternak, dan nelayan diakui amat penting, tapi ketiga profesi ini relatif belum cukup banyak merasakan kebijakan yang berpihak. Ada sejenis kekuatan yang tak ingin Indonesia tangguh dengan membiarkan petani, peternak, dan nelayan kita tanpa aturan yang mampu melindungi, menjaga, dan merawat kesinambungan,” kata Aida melalui rilis yang diterima wartawan, Kamis (17/5/2018).
Sementara itu Nur Agis Aulia, seorang peternak muda yang ikut bergabung di Pendaringan, telah menggagas penyelenggaraan Kuliah Whatsapp (KulWA) yang ditujukan bagi para petani, peternak, dan nelayan. KulWA, harap Agis, tak hanya sekadar menjadi arena diseminasi pengetahuan atau tukar informasi dari mereka yang telah berhasil menorehkan banyak prestasi di sektor pangan. Ia menyebut, di forum ini pula petani, peternak, dan nelayan dapat berkonsolidasi dan mengorganisasi diri untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak.
”Pendaringan akan kami dorong sebagai tempat untuk mengadvokasi berbagai isu yang dianggap melemahkan kehidupan petani, peternak, dan nelayan di Indonesia. Kami juga menyadari, di masa depan para petani, peternak, dan nelayan harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Digitalisasi produk pertanian, misalnya, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan. Sekaligus juga upaya kami untuk memudahkan konsumen terhubung langsung dengan petani, peternak, dan nelayan,” tegas Agis.
Agis menerangkan, KulWA Pendaringan saat ini diikuti tak kurang dari 1500 peserta dari kalangan petani, peternak, nelayan, mahasiswa, dan umum yang tertarik dengan dunia pangan. Di luar peserta yang berasal dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia, beberapa di antaranya juga berasal dari sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Korea, hingga beberapa negara di Timur Tengah.
Di kesempatan Kuliah WA Agis juga menyampaikan ajakan pada generasi milenial untuk menjalani profesi sebagai petani, peternak, dan nelayan. Melalui media sosial ia tengah mensosialisasikan tagar #2019JadiPetaniPeternakNelayan. Bukan tanpa alasan ia menyerukan ajakan tersebut. Agis mengatakan, ”Selama kita masih belum mampu mengonsumsi plastik, mengunyah batu, atau menelan besi, maka selama itu pula profesi petani, peternak, dan nelayan akan selalu dibutuhkan. Saya ingin memberikan manfaat bagi sesama, karena itu saya mengajak kita semua jadi petani, peternak, dan nelayan.”. (Red-05).