Menjadi pekerja sebagai wartawan atau yang kerap disebut jurnalis, pers dan kuli tinta, memang seringkali mendapatkan perilaku yang tidak baik. Tak jarang profesi ini dianggap orang yang paling buruk di mata Pemerintah dan publik, bahkan sudah tidak asing lagi pekerjaanya juga kerap dipandang hina.
Anggapan publik memang bukan tanpa alasan, karena banyaknya para oknum yang mengatasnamakan dirinya sebagai wartawan, lalu bertindak seudelnya meminta uang sampai ada yang melakukan “pemerasan” dengan menggadaikan sebuah persoalan demi keuntungan pribadinya.
Sangat penting sekali keadaan prilaku Pemerintah dan umumnya publik, mengetahui kinerja seorang wartawan sesungguhnya. Nah, pekerjaan wartawan yang asli itu memiliki kode etik jurnalistik yang kerjanya dituntut harus profesional dalam menyajikan berita, dapat menjadi sahabat masyarakat melalui pemberitaan yang konstruktif (membangun), akurat, berimbang dan tidak mengandung fitnah.
Dalam kontek regulasi atau secara yuridis (hukum)-nya, semua pekerja baik buruh sampai wartawan itu dilindungi oleh Undang-Undang. Khususnya, untuk wartawan sebagai bagian dari pilar demokrasi tengah memiliki kepastian hukum tetap yakni kinerjanya harus sesuai dan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Lebih jauh lagi tentang keberadaan wartawan atau pers secara subtansif tidak saja dijadikan indikator atau cermin tingkat kebebasan yang dimiliki masyarakat. Tapi, hakikatnya pers juga merupakan cermin tingkat kematangan dan kedewasaan politik yang telah diperjuangkannya.
Kematangan dan kedewasaan politik yang dimaksud penulis menjurus kepada pentingnya dan bahkan diwajibkan bagi wartawan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Karena dibalik kepemimpinan bisa saja menghasilkan sistem yang akan berdampak buruk kepada masyarkat, semisal adanya tindakan korupsi, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok (partai pengusung) dan lainnya.
Pemerintah dibentuk sebagai produk demokrasi untuk mensejahterakan rakyat yang dapat saja menyalahgunakan kekuasaannya dan karena itu harus dikontrol produk demokrasi lain, yakni parlemen. Namun, keduanya bisa saja tidak harmonis dan dapat merugikan rakyat, karena itu keduanya harus dikontrol oleh alat demokrasi lain yang bernama Pers.
Sebab, Pemerintah merupakan produk demokrasi yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu terbuka. Sudah barang tentu Pemerintah diwajibkan harus bisa melindungi, melayani, memajukan bangsanya dari Sabang sampai Merauke dan mensejahterakan rakyat. Maka, peran pers sebagai alat demokrasi dan hidup bersama rakyat sangatlah penting hadir ditengah-tengah dan menjadi penyeimbang langkah Pemerintah.
Begitu juga soal legalistas baik, media ataupun wartawannya haruslah tercatat di Dewan Pers. Karena Dewan Pers adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia.
Seperti kali ini penulis mengutip pembicaraan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Pasetyo yang menegaskan, mulai Februari 2017, pihaknya akan memverifikasi media massa di Indonesia tanpa pungutan biaya. Langkah tersebut sebagai upaya perbaikan kualitas media, sehingga konsekuensinya, hanya media-media yang telah terverifikasi saja yang bisa meliput secara resmi. “Setiap instansi hanya melayani media yang terverifikasi di dewan Pres,” jelasnya.
Lebih jauh lagi ia memaparkan, perbaikan tidak hanya akan menyasar media. Tetapi, para wartawan yang berada di setiap media harus mengikuti perubahan ke arah peningkatan kompetensi dan mendorong wartawan melakukan uji kompetensi guna mendapatkan sertifikat menjadi wartawan yang berkompeten dengan profesinya. Ia juga menyebutkan, tingkat kompetensi wartawan di Indonesia masih rendah, tercatat dari sekitar 80 ribu wartawan, yang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) baru sekitar 10 ribu.
“Ke depan wartawan tidak hanya ditanya perihal identitas. Tetapi sudah mengacu pada kompetensi melalui kartu kompetensi yang telah dimiliki. Masih ada sekitar 4 bulan untuk mempersiapkan wartawan mengikuti uji kompetensi dan verifikasi terhadap perusahaan pers, nantinya wartawan yang telah memiliki kompetensi akan mendapat kartu berisi perusahaan tempat kerja, foto, dan identitas tersebut akan muncul di Dewan Pers,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, akan ada kerjasama antara Dewan Pers dengan dua lembaga negara yaitu TNI dan Kepolisian, serta lembaga begara lainnya mulai Februari 2017, Jenderal TNI akan mengeluarkan surat edaran bahwa instansinya hanya akan melayani wartawan yang berkompetensi. Begitu pula dengan Kepolisian. “Enggak ada berbagi informasi kepada orang yang tidak kompeten,” tegasnya.
Salah satu kriteria media yang terverifikasi adalah yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 perihal pers. Misalnya media tersebut menerbitkan berita secara rutin dan berbadan hukum, kemudian terverifikasi Dewan.
Penulis: Nipal Sutiana (Jurnalis Pandeglang/Anggota PWI Kabupaten Pandeglang).