Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah atau Pemda adalah kewenangan yang berkaitan dengan perizinan. Perizinan merupakan instrumen kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun aktivitas ekonomi. Izin juga merupakan instrumen untuk perlindungan hukum atas kepemilikan atau penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas, yang tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan. Tanpa rasionalitas dan desain kebijakan yang jelas, perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk membela kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku ekonomi atas tindakan yang berdasarkan kepentingan individu. Dengan demikian, fungsi perizinan adalah fungsi regulasi yang berada pada badan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Salah satu fungsi utama dari pemerintah adalah membuat kebijakan publik. Argumentasi terpenting dari pernyataan tersebut adalah bahwa semua warga negara akan senantiasa bersentuhan dengan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah, karena yang diatur oleh kebijakan publik tentunya yang menyangkut kepentingan umum.
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat yang salah satunya adalah kewenangan pemerintah daerah atas pemberian izin Reklamasi Pantai.
Pemekaran kota menjadi alasan utama reklamasi sehingga alternatif reklamasi pantai dilakukan karena berbagai alasan berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk akibat dari pertambahan penduduk alami maupun migrasi dan kesejahteraan penduduk yang miskin mendorong mereka yang semula tinggal di tengah kota memilih ke daerah pinggiran atau tempat baru untuk dapat memulai usaha demi meningkatkan kesejahteraannya serta penyebaran keramaian kota, semula semua kegiatan terpusat di kota sehingga dibutuhkan ruang baru untuk menampung semua kegiatan yang mana tidak bisa difasilitasi dalam kota (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001:19). Kegiatan reklamasi pantai sebenarnya bukan hanya untuk mendapatkan lahan murah, tetapi juga untuk lebih meningkatkan fungsi sekaligus memperbaiki keadaan yang tidak diinginkan. Misalnya, bila suatu daerah telah sering banjir karena pasang laut atau air hujan menjadi tidak banjir.
Realita tersebut mendorong wilayah yang ada di pinggir pantai untuk terus mencari alternatif baru sebagai tempat menampung kegiatan perkotaan. Pada dasarnya, reklamasi pantai dilakukan sebagai upaya untuk memperluas wilayah daratan dengan berbagai tujuan yang sah dan telah dipraktekkan secara luas di seluruh dunia. Upaya manusia mempertimbangkan akan terbatasnya daratan sebagai tempat aktifitas utama manusia, baik sebagai sarana pemukiman, industri, perdagangan dan lain sebagainya.
Pulau Tunda yaitu Pulau yang terletak di kawasan Teluk Banten. Kawasan yang juga terdampak penambangan pasir laut. Kegiatan penambangan pasir di sekitar Pulau Tunda menjadi pilihan yang amat sulit bagi para nelayan dan warga desa.
Pulau Tunda sebenarnya dikenal sebagai lokasi wisata. Keindahan alam lautnya menarik wisatawan tapi kemudian kehadiran penambangan pasir laut menimbulkan tanda tanya bagi masa depan alam laut kawasan ini.
Berkurangnya ikan dari hasil laut yang dialami oleh nelayan di Pulau Tunda tersebut diduga imbas dari kedatangan kapal penambang pasir laut yaitu kapal Queen of The Netherland yang menghisap pasir laut ke kawasan ini. Efek penambangan pasir laut juga sangat terasa di desa Domas, desa yang bersebelahan dengan desa Lontar. Sejumlah tambak ikan dengan luas puluhan hektar hancur terkena abrasi pantai. Keresahan nelayan Desa Lontar ini karena penambangan pasir laut oleh PT Jet Star untuk reklamasi Teluk Jakarta. Akhirnya warga di Pulau Tunda yang berjumlah 1.502 orang diberikan kompensasi uang oleh pihak perusahaan penambang pasir laut.
Dengan adanya reklamasi ini akan mempengaruhi ikan yang ada di laut, sehingga nanti akan berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang tentunya menggantungkan hidup kepada laut. Selanjutnya adalah aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai penyangga daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem.
Dalam kaitannya dengan Reklamasi Teluk Jakarta, Pemerintah Eksekutif DKI Jakarta mengajukan dua rancangan Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Raperda RZWP-3-K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSPJ). Gubernur mengajukan dua rancangan tersebut kepada DPRD untuk kemudian menjadi pengaturan baru atas sumber daya dan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Koalisi menerima versi terakhir pada 22 Januari 2016.
Untuk menilai apakah Perda tersebut sejalan dengan perlindungan terhadap nelayan tradisional, masyarakat pesisir, dan lingkungan hidup, telah ada berbagai kebijakan yang dapat menjadi alat untuk menganalisis rancangan perda tersebut.
Berbagai alat analisis tersebut dari mulai (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 terhadap Uji Materil UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (3) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil beserta perubahannya UU No. 1 Tahun 2014; (4) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang beserta dengan peraturan turunannya; (4) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan peraturan turunannya; (5) Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia Tahun 2014; (6) Permen KP No. 34/PERMEN-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil beserta dengan Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kabupaten/Kota; dan (7) Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Kondisi Teluk Jakarta telah kritis, ditandai dari kemampuan pencucian alami (natural flushing) yang semakin menurun. Kondisi ini kemudian berdampak kepada terjadinya kematian ikan yang terus-terusan terjadi. Terakhir terjadi kematian ikan pada awal Desember 2015 di Pantai Ancol, yang tidak lama berselang terjadi juga di wilayah perairan Muara Angke. Kematian ikan tersebut tidak terjadi tiba-tiba tetapi terus-terusan berulang sejak tahun 1970-an. Ditambah lagi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta yang telah tinggi disebabkan oleh 13 sungai yang masuk keperairan Teluk Jakarta yang tidak kunjung diselesaikan masalah pencemarannya. Beban daya dukung Teluk Jakarta telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya dilihat dari penurunan muka tanah yang tinggi karena pembangunan di daratan Jakarta.
Pengelolaan Teluk Jakarta bertambah ruwet dengan munculnya Kebijakan Program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang dipaksakan oleh pemerintah pusat sebagai proyek investasi. Melalui kebijakan master plan pengembangan terpadu pesisir Ibukota Negara tersebut, mengatur pengembangan dan pendayagunan pantai, pengelolaan pesisir Kepulauan Seribu, Pantai Utara Jakarta hingga mengatur tentang mega proyek reklamasi.
Reklamasi dilakukan secara ilegal di pesisir Teluk Jakarta sejak tahun 1980-an. Reklamasi sewenang-wenang yang melawan hukum tersebut kemudian diputihkan dalam Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995. Pasca Runtuhnya rezim Orde Baru, Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan Keputusan Menteri LH No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Lingkungan Hidup atas Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Pihak pengembang kemudian menggugat penilaian resiko reklamasi tersebut yang pada akhirnya di tingkat peninjauan kembali, Mahkamah Agung mengalahkan Kemen LH. Padahal di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memenangkan Men LH dan menolak gugatan dari pihak pengembang. Setelah periode tersebut reklamasi kembali masif ditambah lagi dengan terbitnya Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2030. Catatan khusus bahwa putusan pengadilan hanya menyangkut aspek formal prosedural sehingga dampak buruk tentang reklamasi masih mengancam dan beberapa telah terjadi akibat reklamasi.
Ketidakseimbangan ekosistem perairan pantai dalam waktu yang relatif lama ini akan berakibat pada kerusakan ekosistem wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai. Dampak yang ditimbulkan daripada tempat pengambilan material urug (Jacob Rais dkk, 2004:103). Untuk reklamasi biasanya hanyalah memerlukan material urug yang cukup besar yang tidak dapat diperoleh dari sekitar pantai, sehingga harus didatangkan dari wilayah lain yang memerlukan jasa angkutan. Pengangkutan ini berakibat pada padatnya arus lalu lintas, penurunan kualitas udara, debu, bising yang akan mengganggu kesehatan masyarakat.
Dampak positif kegiatan reklamasi antara lain terjadinya peningkatan kualitas dan nilai ekonomi kawasan pesisir, mengurangi lahan yang dianggap kurang produktif, penambahan wilayah, perlindungan pantai dari erosi, peningkatan kondisi habitat perairan, penyerapan tenaga kerja dan lain-lain. Sedangkan dampak negatif dari proses reklamasi pada lingkungan meliputi dampak fisik seperti halnya perubahan hidro-oseanografi, sedimentasi, peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut, peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya. Selain itu, reklamasi juga akan berdampak pada perubahan sosial ekonomi seperti kesulitan akses publik ke pantai, berkurangnya mata pencaharian (Jennefer Laidley, 2005:196). Berdasar dari deskripsi latar belakang masalah di atas, maka dapatlah dirumuskan permasalahannya sebagai berikut dibawah ini.Izin PPLH diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan surat keputusan kelayakan lingkungannya dan rekomendasi UKL-UPLnya.
Semua pengaturan tentang lingkungan hidup pada dasarnya dimaksudkan agar alam dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia pada saat ini dan juga yang tidak kalah pentingnya yaitu untuk kepentingan kesejateeraan umat dimana mendatang (sustainable development), dengan kata lain pembuatan UUPPLH serta aturan sektoral lainnya dimaksudkan atau dijiwai untuk menyelamatkan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa lingkungan hidup Indonesia telah mengalami berbagai kerusakan yang sangat mengkhawatirkan dan untuk itu diperlukan pengaturan yang memadai.
Payung hukum atau umbrella act atau umbrella provision atau dalam ilmu hukum disebut kadarwet atau raamwet yang utama terhadap masalah lingkungan hidup adalah UUPPLH. UUPPLH ini menjadikan ketentuan payung bagi peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi peraturan lebih lanjut dibawahnya (lex ferandai atau ketentuan organik) atas lingkungan hidup.
UUPPLH yang juga merupakan “payung” pengelolaan lingkungan hidup, maka Undang-Undang sektoral bidang lingkungan hidup yang diantaranya, kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, harus memenuhi beberapa kondisi. Antara lain, Pertama, UU tersebut harus tunduk pada UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan: “Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan. Dalam Pasal 1 angka 35 dan 36 UUPPL menyebutkan bahwa:
“Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau kegiatan tersebut diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan”.
Sedangkan menurut Pasal 40 UUPPLH menyatakan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan.
Dalam hal perizinan, yang berwenang mengeluarkan izin adalah pejabat administratif, kaitannya adalah dengan tugas pemerintah dalam hal memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Dalam hal pelayanan publik, izin merupakan bentuk pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Izin dapat berbentuk tertulis dan atau tidak tertulis, namun dalam Hukum Administrasi Negara, izin harus tertulis, kaitannya apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diingikan, maka izin yang berbentuk suatu keputusan adminstrasi negara (beschicking) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pengadilan. Izin yang berbentuk beschiking, sudah tentu mempunyai sifat konkrit (objeknya tidak abstrak, melainkan berwujud, tertentu dan ditentukan), individual (siapa yang diberikan izin), final (seseorang yang telah mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan isinya yang secara definitif dapat menimbulkan akibat hukum tertentu).
Penyelenggaran pemerintahan yang baik yaitu yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian, dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang, baik atas diri, hak maupun atas harta bendanya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang paling bersentuhan dengan rakyat banyak adalah dua bidang, yaitu administrasi negara dan penegak hukum. Karena itu sangat wajar apabila penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan kepada pembaharuan administrasi negara dan pembaruan penegakan hukum. Pelayanan yang dipanjang-panjangkan, bertele-tele, bukan hanya memakan waktu, dapat menghilangkan peluang, tetapi menjadi suatu fungsi komersial, karena melahirkan sistem uang pelicin, hadiah, yang tidak lain dari suatu bentuk suap.
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tahun 2008. Ketentuan tersebut dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 72 Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang menyatakan Keppres No. 52/1995 dinyatakan tidak berlaku bersamaan dengan ketentuan lain yang terbit untuk memutihkan reklamasi illegal.
Jakarta adalah kawasan strategis nasional, yang didefinisikan sebagai “wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Penetapan Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam Lampiran X PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Maka, berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 maka kewenangan pengelolaan DKI Jakarta sebagai kawasan strategis nasional berada di tangan pemerintah Pusat.
Gubernur DKI Jakarta Ir.Basuki Tjahaja Purnama, M.M. (Ahok) seperti mengangkangi berbagai peraturan dan tidak peduli terhadap peminggiran terhadap nelayan, pemiskinan terhadap nelayan, serta masyarakat pesisir akibat proyek reklamasi. Terbitnya empat izin yang hanya diakses di website membuktikan masyarakat nelayan tidak diberikan informasi yang memadai. Reklamasi Pulau G terbit pada Desember 2012, Pulau F dan Pulau I terbit Oktober 2015 dan terakhir Pulau K pada November 2015. Sehingga sangat jelas bagaimana Pemprov melanggar hukum. Ditambah lagi belum adanya Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang seharusnya menjadi pengaturan arahan dasar hukum penataan ruang di kawasan pesisir.
Partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan dari pengambilan keputusan publik merupakan salah satu ciri dari penyelenggaraan negara demokratis. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik memiliki tiga akses yang perlu disediakan bagi masyarakat. Pertama, akses terhadap informasi; kedua, akses partisipasi dalam pengambilan keputusan yang meliputi hak masyarakat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, partisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan ketiga, akses terhadap keadilan (access to justice) dengan menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk menegakkan hukum lingkungan secara langsung. Sifat dasar dari peran serta adalah keterbukaan dan transparansi.
Pada dasarnya keikutsertaan masyarakat (partisipasi) dalam proses pembentukan Perda diatur dan dijamin oleh Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pedoman teknis penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), konsultasi publik dilakukan antara lain melalui rapat, musyawarah/rembug desa, dan lokakarya. Konsultasi publik adalah suatu proses penggalian dan dialog masukan, tanggapan dan sanggahan antara pemerintah daerah dengan pemerintah, dan pemangku kepentingan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Namun faktanya proses penyusunan kedua Raperda telah melanggar ketentuan partisipasi masyarakat, terutama perempuan yang diatur dalam undang-undang ataupun pedoman teknis. Tidak pernah ada konsultasi publik, kepada masyarakat nelayan, masyarakat di pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu, serta kelompok lain yang akan terdampak signifikan khususnya perempuan, kecuali ketika Ranperda tersebut akan disahkan. Proses konsultasi publik yang dilakukan terkesan basa-basi, hanya untuk memenuhi aspek formil legislasi karena masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk mempelajari rancangan peraturan melalui media publik dan masyarakat seolah diundang untuk ‘menyetujui’ Raperda yang akan disahkan. Dokumen kedua Raperda tersebut tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Semoga saja kebijakan terhadap ijin Reklamasi Teluk Jakarta tersebut tidak melahirkan masalah dikemudian hari dan masyarakat sekitar khususnya bisa memperoleh kesejahteraan dan diberikan hak yang seadil-adilnya oleh Pemerintah Daerah. ****
Penulis, Dede Kurniawan
Mahasiswa Pasca Sarjana Untirta