“Andil Pemerintah Daerah dalam memasukkan bahasa Sunda Banten tidak diprioritaskan, hal ini terjadi karena tidak ada regulasi. Padahal dalam Pasal 41 dan 42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara disebutkan jika Pemda wajib memberi penanganan bahasa daerah.
Namun sampai saat ini, Pemda belum hadir dalam mengimplementasikan Undang-undang tersebut,” ujarnya usai kegiatan Bengkel Penulisan Sastra Sunda Bagi Guru Bahasa Daerah di salah satu rumah makan di Pandeglang, Kamis (16/3).
Menurutnya, dampak dari tidak adanya aturan itu, pelajaran bahasa khususnya sastra Sunda Banten di sekolah seringkali tersisihkan oleh mata pelajaran lain. Bahkan sejak diberlakukannya Kurikulum 2013, mata pelajaran bahasa daerah semakin terpinggirkan.
“Pelajaran bahasa daerah sering kali disisihkan dari pelajaran lain, padahal dalam bahasa dan sastra daerah ada kearifan lokal yang bisa diajarkan kepada anak didik. Selama ini yang diajarkan ke siswa paling banyak diajarkan soal bahasa, sedangkan bidang sastra sangat minim,” bebernya.
Untuk itu, sambung Luthfi, pihaknya berencana mensinergikan persoalan bahasa daerah dengan pemangku jabatan dari tingkat kabupaten kota hingga provinsi. Nantinya, Kantor Bahasa juga akan mendorong untuk membentuk lembaga sendiri yang menangani masalah bahasa dan sastra daerah, sehingga keluhan guru dan siswa bisa terakomodir.
“Walaupun dari penelitian, bahasa Sunda, Jawa, dan Bali merupakan bahwa yang dinilai aman dari kepunahan. Namun dari fenomena saat ini, generasi muda cenderung mulai meninggalkan bahasa daerah. Maka kami berencana audiensi dengan pemangku kebijakan, agar tidak meninggalkan pengembangan perlindungan, dan pembinaan bahasa sastra daerah,” terang Luthfi.
Sementara itu, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda Kabupaten Pandeglang, Kelly Ardiana membeberkan hal yang lebih mencengangkan. Menurutnya, saat ini sastra Sunda Banten terkesan dikucilkan dibanding sastra Sunda Jawa Barat. Padahal mulanya, sastra Sunda berasal dari Banten.
“Sekarang saya melihat, tidak ada yang merangkul sastra Sunda Banten. Padahal dulunya, berasal dari Banten,” tuturnya prihatin.
Kelly pun mengamini perihal bahasa dan sastra Sunda Banten yang terancam punah. Karena ia menuturkan, meski populasi masyarakat Banten, khususnya di Pandeglang dan Lebak masih banyak menggunakan bahasa Sunda, namun hanya berbentuk lisan. Sedangkan budaya menulis sastra Sunda masih rendah.
Maka Kelly menilai, Pemerintah Kabupaten Pandeglang perlu menggalakkan program penulisan buku berbahasa Sunda Banten. Mengingat, Pemerintah Pusat juga telah mencenangkan program gerakan literasi nasional.
“Selama ini di Pandeglang tidak memiliki buku bahasa Sunda yang baku sesuai tipologi. Sejauh ini, materi pelajaran bahasa Sunda mengacu pada Sunda parahyangan Jawa Barat, sedangkan siswa di Pandeglang tidak terbiasa dengan pola bahasa Jawa Barat. Sehingga ini perlu disusun buku bahasa Sunda tersendiri untuk Pandeglang. Apalagi Sunda Banten berbeda dengan Sunda Jawa Barat,” kata Kelly.
Lebih dari itu, Kelly juga mendesak kepada Pemkab Pandeglang untuk membentuk Perda mengenai persoalan bahasa daerah. Pemkab diminta tidak hanya mengumbar slogan semata, namun harus dibarengi dengan bentuk nyata dalam memprioritaskan bahasa Sunda Banten masuk dalam pelajaran muatan lokal di sekolah.
“Pihak eksekutif dan legislatif harus memiliki pandangan bahwa bahasa Sunda itu penting,” pesannya. (Red-02)