“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Saudaraku kaum Muslimin Rohimakumullah, setiap manusia memiliki identitas atau jati diri yang menunjukan keseluruhan tentang dirinya. Inilah yang sering kita sebut sebagai kepribadian. Begitupula dengan orang yang berpuasa, harus memiliki kepribadian yang khas yang membedakannya dengan yang tidak berpuasa. Ada beberapa kepribadian orang-orang yang berpuasa, diantaranya adalah :
Pertama, kepribadian Muttaqien. Dalam Q.S Al-Baqoroh 183 secara jelas, tujuan pokok dan utama puasa adalah menjadi manusia takwa atau pribadi muttaqien. Dalam Q.S Al-Baqoroh ; 177 yang sebab turunnya adalah jawaban atas perdebatan saat itu mengenai arah kiblat, ke Baitullah di mekkah atau di Baitul Maqdis di Yerusalem. Ayat ini menjawab bahwa perdebatan yang melelahkan itu bukanlah termasuk kebajikan, tetapi melaksanakan inti takwa lah yang disebut dengan kebajikan.
Takwa dalam ayat ini diantaranya dibuktikan dengan ; beriman kepada Allah dan hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para Nabi. Kemudian mereka mendermakan harta untuk sanak-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan orang terbelenggu. Kemudian menegakkan shalat dan melaksanakan zakat (atau menjaga kesucian diri), dan memenuhi janji nya ketika berjanji, tabah dalam kesusahan dan masa-masa sulit. Itulah rincian al-Qur’an mengenai pribadi takwa.
Seorang pakar al-Qur’an modern, A. Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an menjelaskan bahwa nilai-nilai takwa dalam ayat itu berkisar pada empat hal, yaitu ; (1) keimanan kita harus sejati dan murni (2) kita harus siap untuk memancarkan iman ke luar dalam bentuk tindakan kemanusiaan kepada sesama (3) kita harus menjadi warga masyarakat yang baik, yang mendukung sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan (4) jiwa pribadi kita sendiri harus teguh dan tak goyah dalam setiap keadaan.
Karena Puasa ini akan menampilkan pribadi takwa, maka orang yang berpuasa akan memancarkan keyakinan total ia kepada Allah sehingga akan ikut serta menjaga kondisi masyarakat dalam keadaan harmonis serta saling harga-menghargai dan memuliakan agar tidak menimbulkan masalah sosial.
Kedua, kepribadian Mushlihin. Yaitu kepribadian yang mengadakan perbaikan (islah) dalam kehidupan baik Islah (perbaikan) aqidah, ibadah, keluarga, sosial (ijtimaiyah), dan ekonomi (iqtishodiyah).
Ketiga, kepribadian shobirin. Yakni kepribadian yang penuh kesabaran. Karena puasa sebagaimana hadist Nabi disebut الصوم جنة (perisai), dari perilaku tidak terpuji sehingga jika ada orang yang hendak mengajak kerusuhan / keburukan maka jawablah dengan “Inni Shoiimuun” (saya sedang berpuasa), inilah yang akan menapilkan kesabaran.
Keempat, kepribadian Muhsinin. Yakni pribadi yang ihsan. Adapun makna ihsan dinyatakan dalam hadist Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim; Jibril bertanya kepada nabi mengenai Ihsan ? Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau.”
Puasa adalah ibadah rahasia, yang hanya kita dan Allah yang mengetahuinya. Sehingga, puasa sebenarnya melatih kita untuk melaksanakan ihsan. Kita akan taat dan patuh serta takut melanggar aturan serta rukun puasa meskipun tidak ada yang melihatnya tetapi kita yakin bahwa Allah selalu memantau perilaku kita.
Derajat mengamalkan ihsan ini adalah tinggi dalam makna Agama, karena jika ihsan sudah hadir pada diri seseorang maka hanya kebaikan yang akan terpancar dari pribadinya. Bagi pribadi ihsan kebaikan bukan persoalan dilihat, dipuji dan diperhatikan orang lain. Tetapi merupakan tanggung jawab hidupnya kepada Allah sang pemberi hidup.
Saudaraku Rohimakumullah, empat kepribadian ini harus menjadi jati diri kita ketika sedang dan setelah berpuasa. Inilah ciri-ciri puasa yang menampakan kesempurnaan, dengan begitu kebaikan dan kemulyaan hidup Insya Allah hadir dalam kehidupan kita. ***