“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal,” (Q.S Al-Hujurat ; 13)
Saudaraku kaum Muslimin Rohimakumullah, beberapa hari terakhir ini media lokal di Banten baik cetak maupun elektronik diramaikan dengan berita razia warung makan oleh pihak Satpol PP Kota Serang khususnya terhadap warung makan Ibu Saeni. Hal ini jelas bukan tanpa alasan, sebagaimana yang dinyatakan Gubernur Banten melalui akun facebook yaitu berdasar Peraturan Daerah No 2 tahun 2010 tentang PEKAT yang dikeluarkan oleh Walikota Serang dan MUI Kota Serang. Seketika berita ini menjadi trending topic dikalangan masyarakat Banten, dan menuai beragam reaksi dan pandangan yang berbeda-beda dari setiap individu masyarakat. Tulisan sederhana ini, tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau pun menyalahkan, tetapi penting kiranya kita untuk kembali memahami ulang pembacaan al-Qur’an mengenai toleransi.
Pada satu sisi, penghargaan terhadap keagungan bulan Ramadhan adalah perilaku luhur agama. Dalam kitab Durrotun Nashihin,Syeikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi menceritakan suatu waktu orang Majusi melihat anaknya di bulan Ramadhan sedang makan di pasar, lalu dipukulnya seraya berkata : “Kenapa kamu tidak memelihara kehormatan kaum muslimin di bulan Ramadhan?” kemudian orang Majusi itu pun meninggal dunia. Lalu ada seorang alim melihatnya dalam mimpi, duduk di atas singgasana kemuliaan dalam surga. Kesimpulan cerita tersebut adalah orang Majusi mendapat karunia Allah Swt berupa beriman, karena menghormati keagungan bulan Ramadhan.
Dari cerita ini, orang Majusi saja mendapat kemuliaan menghormati Ramadhan, apalagi dengan kita sebagai hamba Allah SWT yang beragama Islam. Terlebih lagi bagi masyarakat Banten yang dikenal religius, sudah sewajarnya kita bersama membuat desain ramadhan sebagai praktik tulusmengharap kemuliaan dari Allah SWT. Tetapi pada satu sisi yang lain, perlu disadari bahwa kehidupan saat ini sangat majemuk, mulai dari Agama, kepercayaan, latar belakang ras, suku, pekerjaan, kebutuhan dan lain-lain. Maka toleransi menjadi solusi utama menanggapi kemajemukan tersebut. Konsep toleransi atau saling menghargai dalam Islam, sesungguhnya berangkat dari beberapa alasan.
Pertama, toleransi adalah sikap qur’ani dan merupakan sunatullah.Toleransi bukan pada persoalan mayoritas menghargai minoritas maupun sebaliknya, melainkan merupakan reaksi spiritual kita sebagai hamba Allah untuk saling mengenal,sebagaimana surat Al-Hujurat ayat 13. Sehingga perbedaan diantara manusia merupakan sunatullah, dalam hal ini seorang cendikiawan muslim Indonesia Nurkholis Madjid (Cak Nur) dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban mengutip surat fathir ayat 43 “ tidakkah mereka memperhatikan sunnah (hukum) pada orang-orang terdahulu dalam sejarah)? Maka engkau tidak akan menemukan dalam Sunatullah suatu perubahan, dan engkau tidak akan menemukan dalam sunatullah suatu peralihan.
Kedua, perbedaan dan menjaga kemurnian agama tidak boleh menimbulkan perilaku yang tidak manusiawi (insaniyah). Nabi SAW. Berpesan agar bila berperang dan harus membunuh musuh, hendaklah menghindarkan wajah, karena dalam wajah itu ada kehormatan kemanusiaan. Sebuah hadist Bukhari-Muslim menyebutkan : “Jika seseorang di antara kamu terlibat dalam peperangan maka hendaknya ia menghindari wajah”. (Muttafaqun ‘Alaih). Praktik penertiban warung nasi pada siang hari di bulan Ramadhan hendak lah berkaca dari spirit sunnah Rasulullah Saw tersebut dan tradisi toleransi serta santun dalam Islam.
Ketiga, setiap Ibadah adalah syiar Allah. Begitupun dengan puasa, yang dalam al-Qur’an ditujukan untuk mencapai ketakwaan. Zuhari Misrawi, dalam buku pandangan muslim moderat mengutip penafsiran Imam al-Razi dalam Tafsir mafatih al-Ghaib yakni ketakwaan dalam ayat itu adalah upaya menghilangkan syahwat dan nafsu kebinatangan sehingga tidak mengakibatkan munculnya prahara, kejahatan dan perselisihan.
Keempat, toleransi adalah sikap tulus manusia untuk menjauhkan diri dari sifat su’udzon (berprasangka buruk). Mungkin kita berprasangka (dzon) bahwa warung yang buka pada siang hari di bulan Ramadhan akan mengganggu umat Islam dalam ibadah, anggapan ini tentu saja boleh. Tetapi jika kita mencoba berprasangka baik (husnudzon) bahwa warung tersebut diperuntukan untuk orang yang tidak melaksanakan puasa, maka sikap penghargaan dan kesantunan kemudian akan lahir.Sebagaiamana dikutip dari kitab Kasyifah as-Saja, Syeikh Salim bin Abdullah mencatat ada enam orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa yaitu; musafir, orang sakit, orang tua renta, orang kelaparan, dan kehausan yang dapat membahayakan nyawa, ibu hamil dan ibu menyusui.
Alhasil saudaraku se-iman dan se-akidah, marilah kita melihat persoalan ini dengan jernih, niat tulus, dan penuh husnudzon dalam rangka secara bersama-sama setiap elemen masyarakat untuk mengagungkan kesucian bulan Suci ini. ***